Tak terasa, sudah dua minggu Vanya libur sekolah. Sekarang tanggal 1 Januari di tahun yang baru. Itu menandakan bahwa besok ia sudah harus bersekolah kembali.
Ia masih duduk termenung di atas tempat tidurnya. Matahari sudah tinggi menerobos jendela kamar Vanya. Ia kesiangan. Oh tolong, ia baru sampai di rumahnya jam 4 shubuh tadi dan baru tidur setelah ia melaksanakan shalat shubuh.
Yup, dia merayakan tahun baru bersama ayah dan calon keluarganya di sebuah sky room dining restaurant yang terletak di tengah kota. Dan berita baiknya, semalam sebelum jam 00.00 di tahun yang baru, ayah resmi melamar tante Feby. Berita baik, ya? Vanya tersenyum miris.
Ayah benar-benar menyiapkan segalanya dengan baik. Restauran yang keren, letak meja yang berdekatan dengan kaca transparan yang menampilkan gemerlap kota, musik yang mungkin saja permintaan ayah ke pihak restauran kala ayah mulai membicarakan lamaran, dan tentu saja penampilan ayah sendiri sangat tampan semalam.
Jujur saja Vanya tidak tau apapun, ia hanya tau bahwa mereka akan makan malam bersama di restauran. Maka lantas saja Vanya membeku ketika pembicaraan ayah mulai mengarah kesana.
"Feby Anika Dewi, di depan anak-anak, saya akan mengatakan sesuatu. Saya ingin mereka menjadi saksi." Ucap ayah kala itu yang membuat Vanya menghentikan gerakan memotong salmon steak miliknya dan dengan cepat menoleh kesamping kiri untuk melihat ayahnya. Di depan ayah, tante Feby yang saat itu hendak memasukkan makanan ke mulutnya tiba-tiba berhenti dan menaruhnya kembali di piring. Sedangkan di depan Vanya, Abra yang tampak tampan dengan setelan kemeja hitamnya juga menoleh pada Galuh sambil mengerutkan dahinya.
"saya ingin melanjutkan hidup denganmu. Menjaga anak-anak bersama. Menjaga kamu. Menjadi kakek dan nenek bersama. Melihat anak kamu, anak saya, anak kita menjadi orang yang sukses. Saya berjanji akan menjaga kalian semua." Bulir-bulir keringat tampak jelas di dahi ayah walau pendingin ruangan di ruangan tersebut membuat Vanya menggigil. Namun ayah pantang menyerah. Dengan tidak mengindahkan keringat di dahinya, ia mengambil sesuatu di kantong bagian dalam jas yang dipakainya.
"maukah kamu menikah dengan saya?"
Akhirnya kalimat sakti itu keluar begitu saja dari mulut ayah. Kotak beludru biru di genggaman ayah terbuka menampilkan cincin berwarna silver dengan satu buah permata yang berkilau.
Vanya merinding hingga kakinya gemetar, hingga jantungnya berdebar, hingga wajahnya pias. Tangannya menggenggam erat garpu dan pisau. Ia masih menatap lekat ayahnya.
Tepat ketika tante Feby tersenyum sangat manis dan menganggukkan kepalanya, cahaya warna-warni menghampiri wajah ayah, menemani senyum indah di wajah ayah. Vanya pun menoleh ke arah kanan penasaran dengan cahaya warna-warni itu.
Kembang api menghiasi langit Jakarta. Saking banyaknya, suara ledakannya sampai terdengar di dalam restauran padahal ruangan itu tertutup rapat. Ditambah lagi kembang api dari pihak restauran membuat ledakan warna-warni itu terlihat sangat jelas.
Chika melompat-lompat kegirangan melihat kembang api itu. Galuh dan Feby melihatnya dengan senyuman bahagia. Sedangkan dua orang lainnya hanya menatap datar pada ledakan warna-warni tersebut. Mereka lebih fokus menata hati masing-masing yang sedang kacau.
Ia tidak boleh menangis. Vanya sudah berjanji pada dirinya sendiri saat malam itu. Ia sudah berjanji akan membuat senyum ayah tak akan hilang dari wajahnya. Ia bersumpah bahwa ia sangat senang melihat ayahnya sebahagia itu.
Dengan sekuat tenaga Vanya menahan sendiri sesak di dadanya. Dan malam itu ia benar-benar tak mengizinkan air matanya mengalir. Tak akan pernah lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe in MAGIC [FINISHED]
Novela JuvenilTentang dua orang manusia yang dipertemukan takdir bukan untuk bersatu, melainkan sebagai pemanis skenario Tuhan.