Hari ini adalah hari Minggu. Masih dalam masa liburan panjang. Ya, liburan panjang masih tersisa seminggu lagi. Seperti pada hari minggu biasanya, pagi-pagi seperti ini Galuh akan mencuci mobil fortuner putihnya, dan Vanya akan mengurus kebun kecil di depan rumah mereka.
Tidak bisa dibilang kebun sih, hanya tanaman-tanaman di dalam pot besar yang berjejer, dua pohon pucuk merah yang sudah setinggi Vanya, tanaman asoka dengan bunga yang berwarna kuning, rumput yang menutupi seluruh permukaan tanah, serta kolam kecil yang berisi banyak ikan koi ditambah dengan air mancur sederhana yang membuat suara gemericik air.
Vanya sedang menyirami tanaman-tanamannya ketika sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan pagar rumah Vanya yang terbuka. Dahi Vanya berkerut bingung siapa gerangan yang datang kerumahnya pagi-pagi. Tiba-tiba seorang gadis kecil berlari-lari menghampiri ayah Vanya yang saat itu tersenyum sambil membersihkan sabun yang melumuri tangannya.
"om Galuh.." gadis itu ternyata Chika yang saat itu tampak cantik dengan baju kembangnya yang berwarna pink.
Kemudian muncul seorang lelaki yang sudah Vanya duga akan terlihat juga dalam waktu singkat. Lelaki itu memakai kaos polos berlengan panjang berwarna hijau army, celana selutut berwarna krem dan sendal santainya. Ya, Abraham Al-fath yang sudah memporak-porandakan hatinya 2 hari yang lalu. Abra tampak membawa sebuah paper bag putih di tangan sebelah kirinya. Dan setelah menyalami ayah Vanya dengan sopan, Abra memberikan paper bag tersebut dan berkata bahwa itu sarapan yang dibuatkan oleh mamanya.
Lantas saja Sang Ayah langsung memanggil Vanya dan menyuruhnya untuk menyiapkan sarapan mereka untuk dimakan bersama.
Setelah mematikan dan meletakkan selang air di rumput, Vanya berjalan santai menuju Sang Ayah sambil melihat kearah Abra. Abra yang saat itu masih merasa canggung hanya menganggukan kepalanya sekali dan tersenyum kaku. Vanya pun meraih paper bag itu dan mengajak Chika untuk ikut masuk ke dalam rumah.
Terdengar obrolan-obrolan santai khas lelaki saat Vanya sedang meletakkan macaroni schotel buatan tante Feby ke piring, ditemani dengan suara bawel Chika yang sesekali membuat Vanya tertawa karena celetukannya. Dua orang lelaki itu menyusul ke dapur dan Galuh mempersilakan Abra untuk duduk di meja makan.
Setelah Vanya membagi macaroni schotel tersebut menjadi 4 piring, ia meletakkan piring tersebut di depan ayahnya, Abra, Chika, dan untuk dirinya sendiri. Mereka memakan sarapan mereka dengan obrolan-obrolan ringan diselingi candaan. Suara Galuh dan Chika mendominasi percakapan di meja makan tersebut. Namun sesekali Abra menimpali jika Galuh bertanya padanya. Vanya sama sekali tak bersuara dan hanya mendapatkan bagian tersenyum saja jika celetukkan Chika terdengar menggemaskan.
***
Suara nyanyian 'Baby Shark' dikursi mobil bagian belakang yang dari tadi dihidupkan oleh Chika membuat Vanya sesekali menoleh kebelakang dan tersenyum melihat Chika yang berjoget-joget sambil serius menonton video itu dari ponsel Abra.
Yup, setelah sarapan tadi, dengan sedikit -oh ralat, dengan paksaan tingkat tinggi, Chika mengajak Vanya untuk ikut ia dan Abra jalan-jalan. Tidak terima tolakan, Chika menarik-narik kedua tangan Vanya untuk ikut dengannya. Jadilah ia sekarang duduk di kursi penumpang di samping Abra yang sedang menyetir.
Vanya menoleh ke belakang lagi dan tersenyum lebar melihat Chika yang semakin lincah. Saat akan menolehkan kepalanya kedepan, matanya bertubrukan dengan mata Abra yang juga menoleh kepadanya sambil tersenyum. Tak lebih dari sedetik, mereka berdua kembali menghadap ke depan. Senyum Abra masih setia terlukis di wajah tampannya. Sedangkan Vanya sedang merutuki dirinya karena masih terpesona pada laki-laki di sampingnya.
Tiba-tiba Vanya jadi teringat ketika Abra berjoget-joget 'Baby Shark' saat acara pembubaran panitia di rumah Dion. Pikiran yang datang tiba-tiba itu membuat Vanya tak kuasa menahan tawanya yang dihadiahi tatapan heran dari Abra yang masih menyetir.
"kenapa?"
"engga, cuma ingat sesuatu" Vanya menutup mulut dengan punggung tangannya, mencoba menahan tawanya.
***
Hamparan rumput yang luas dan juga danau berukuran sedang yang berada di tengah-tengah hamparan rumput itu membuat Vanya kesenangan. Ia dan Chika berlari-lari kecil sambil bergandengan tangan dari mendekati hamparan rumput itu, meninggalkan Abra yang masih memastikan mobilnya tidak mengganggu jalan dan penjual kaki lima.
Hari minggu seperti ini, ditambah ini adalah liburan panjang membuat lokasi itu lumayan ramai akan pengunjung terutama orang yang mengistirahatkan dirinya sehabis jogging. Ramainya pengunjung membuat pedagang kaki lima tak mau membuang kesempatan, ada lumayan banyak pedagang kaki lima yang memenuhi ruas jalan pedestrian.
Chika berteriak-berteriak ke Abra saat Abra baru menyusul mereka ke hamparan rumput. Ia menunjuk mobil yang bertuliskan ice cream dan juga dilengkapi dengan berbagai macam bentuk cone yang berisi ice cream. Abra pun memenuhi permintaan adiknya tersebut.
Tinggalah Vanya sendiri duduk lesehan di atas rumput hijau sambil melihat pemandangan di depannya. Matahari pagi yang cerah menyinari air danau itu sehingga tampak berkilau, banyak orang yang duduk lesehan di atas rumput, mereka mengobrol ringan sambil memakan snack mereka. Anak-anak kecil membuat gelembung dari sabun sehingga gelembung-gelembung kecil itu menghiasi pemandangan.
"kak Vanyaa" suara teriakan dari arah belakang membuat Vanya menoleh ke belakang.
Chika kembali dengan membawa ice cream di genggaman sebelah kanannya, dan tangan sebelah kirinya menggenggam botol sabun seperti yang dimiliki anak-anak pembuat gelembung yang Vanya lihat. Disusul dengan Abra yang berjalan di belakangnya dengan membawa ice cream di kedua tangannya.
Sangat menggemaskan. Chika. Ya, Chika sangat menggemaskan.
"lihat dong Chika abis beli apa.. gelembung sabun! Chika main dulu yah" Chika memamerkan botol gelembung sabun itu pada Vanya.
"eh abisin dulu ice cream-nya Chika, gimana kamu mau main kalau begitu? Jangan dibuang" Abra memberi peringatan kepada Chika, membuat gadis itu dengan cepat menghabiskan ice cream miliknya.
"vanila atau coklat?" Vanya menoleh ke arah Abra karena merasa Abra berbicara padanya.
"vanila, please" kemudian Abra memberikan ice cream berwarna putih kepada Vanya dan memakan ice cream berwarna coklat.
Mereka duduk diam sambil memperhatikan Chika yang sedang bermain gelembung sabun. Karena kemampuan berbicaranya baik dan tidak pemalu, gadis itu sudah bergabung bersama anak-anak seusianya yang sedari tadi bermain bersama.
Agar menghapus kecanggungan mereka berdua, Vanya akhirnya membuka suara.
"hmm.. jadi gue harus manggil lo 'abang' ntar?" Vanya menoleh kesamping kanannya, melihat Abra tersenyum masih sambil melihat kedepan.
"ya.. terserah kamu. Enggak juga gapapa" Abra berhenti sejenak. "hmm.. lagian Chika juga ga manggil saya abang"
"hah? Jadi.. dia manggil elo Abra gitu doang?" Vanya melototi Abra.
Abra tergelak
"engga.. dia manggil saya 'mas'. Paling sering sih dia manggil saya 'mas aham'. Kalo kamu mau ikut dia manggil 'mas' juga gamasalah" Abra tersenyum iseng sambil melirik Vanya.
Vanya merasakan suasana yang canggung. Kepalanya masih menoleh menghadap Abra tapi matanya bergerak-gerak ke samping, bawah dan atas. Kemudian dia mengerjap-ngerjapkan matanya dan dengan cepat menolehkan kepalanya ke depan. Kenapa dia merasa malu ya.
"hahaha.. saya bercanda. Tapi saya ga boong masalah panggilan Chika. Udah, gapapa kok. Seperti biasanya aja ntar gimana. 'gue-lo' juga ga masalah" Abra masih tergelak saat melihat Vanya yang masih diam sambil mengerjapkan mata
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe in MAGIC [FINISHED]
Teen FictionTentang dua orang manusia yang dipertemukan takdir bukan untuk bersatu, melainkan sebagai pemanis skenario Tuhan.