Mobil hitam milik Abra terparkir tepat di depan pagar rumah Vanya. Vanya pun keluar dari mobil hitam itu setelah mengucapkan terimakasih kepada Abra. Hari sudah malam, angin berhembus dengan hawa yang dingin membuat Vanya segera masuk ke dalam rumah. Seperti biasa, rumahnya sepi. Ayah Vanya pasti sedang di kamar karena tidak tampak batang hidungnya di ruang tamu maupun di dapur. Vanya sedikit mengintip apa yang dilakukan oleh ayahnya dari balik pintu. Pria paruh baya yang mengenakan kaos putih oblong dan sarung itu tampak sedang berdiri menghadap dinding. Memandangi figura dari mendiang bundanya. Lama ayah Vanya memandang foto itu. Seperti hendak mengatakan sesuatu, atau mungkin sudah mengatakan sesuatu tetapi hanya di dalam hati sehingga tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut Galuh.
Vanya hendak masuk ke dalam kamar saat kemudian Galuh mengecup bunda dari figura itu. Lama.. dan mendalam. Setelah itu Galuh melepaskan figura itu dari dinding dan membawanya ke sebuah kotak yang sudah berada di atas kasur. Ia meletakkan foto mendiang bunda Vanya di kotak itu lalu menutupnya. Seakan itu akan menutup kenangan dengan Sang bunda yang sudah belasan tahun meninggalkan mereka.
Hati Vanya seperti diremas-remas. Perasaannya campur aduk antara marah dan memaklumi. Tapi kenapa harus secepat ini?
Vanya segera berlari ke kamarnya sebelum ayahnya mengetahui bahwa Vanya sedang mengintip. Ia sedang malas mendengar penjelasan dari ayahnya.
Ia tidak menyangka ayahnya tega menutup kisahnya dengan bunda. Ia tahu ayah akan menikah, tapi itupun masih hitungan berapa bulan lagi. Lalu kenapa ayahnya harus menutup kisahnya sekarang. Bahkan untuk sebuah foto pun ayahnya tidak mau lagi terpajang di rumahnya?
Vanya menarik nafas dan mengeluarkannya dengan teratur. Mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri, membayangkan bagaimana rasaya berada di posisi Galuh.
Angin yang bertiup kencang membuat kain gorden putih di jendela yang menghubungkan kamar dan balkon berterbangan. Vanya berdiri dari tempat tidur untuk menutup jendela. Udara yang dinginnya menusuk sampai ke tulang membuatnya memakai selimut untuk menutup tubuhnya.
Tubuhnya terpaku melihat sesuatu yang berdiri kokoh di balkon kamarnya. Sebuah lukisan dua dimensi yang menggambarkan sebuah keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu dan seorang bayi kecil yang berada di gendongan Sang ibu.
Vanya mendekati lukisan itu. Angin semakin membelai wajah Vanya yang tengah pias. Ntah karena jantung yang berdebar kencang atau karena angin yang kencang, mata Vanya kering dan panas menghasilkan bendungan air mata.
Disentuhnya kanvas berukuran 60x100 cm itu. Dilihatnya hasil coretan tangan yang tampak sangat ahli membuat lukisan. Seorang perempuan yang Vanya kenal sebagai bundanya -walaupun terlihat asing- tersenyum anggun melihat ke manik mata Vanya yang sedang melihat lukisan. Bayi yang berada di gendongan perempuan itu tampak sedang mengisap ibu jarinya. Sedangkan seorang pria paruh baya yang sangat Vanya kenal, tersenyum sangat lebar sambil merangkul Si perempuan. Perih, Vanya mengambil notes yang ditempelkan oleh Sang pelukis.
"ayah selalu sayang kalian berdua. Percayalah, kita akan bahagia di surga"
Tangan Vanya bergetar memegang kertas itu. Tangan lainnya menutup matanya yang sudah mengalir deras. Kemudian tubuhnya meluruh ke lantai marmer yang dingin. Hatinya sakit. Vanya merasa bersalah telah berprasangka buruk terhadap Galuh, ayahnya. Ayahnya masih mencintai Sang bunda, sangat. Hingga ingin mati rasanya. Tapi ia harus tetap melanjutkan hidup untuk masa depan Vanya. Tanggung jawabnya yang membuat Galuh tetap bertahan di dunia. Karena ia telah berjanji kepada bunda untuk menjaga buah hati mereka.
Rasanya Vanya ingin memeluk ayahnya sekarang juga.
***
Langit tampak kosong tanpa bintang dan bulan. Sekosong hati seorang gadis yang tengah duduk di balkon kamarnya. Sesekali ia menghembuskan nafasnya dengan berat seakan mengeluarkan sesak yang bersarang di dadanya. Rasa sakitnya tak kunjung padam membuat sebulir kristal bening mengalir dari ujung mata kanannya. Kata orang, jika air mata keluar dari mata sebelah kanan tandanya itu adalah air mata kebahagiaan. Apanya yang bahagia!
Kini air matanya juga keluar dari mata sebelah kirinya. Sakit. Rongga dadanya seakan penuh, tenggorokannya tercekat seakan ingin mengeluarkan sumpah serapahnya pada takdir namun tak kesampaian hanya tertahan di tenggorokan. Ia tak pernah diajarkan untuk membenci takdir. Ia diajarkan untuk terus menerima dan mengikhlaskan kenyataan walau tak seperti keinginannya. Sekarang, ia sedang mencoba. Namun kenapa rasanya sakit sekali..
Tepat ketika ia mencengkram bajunya sendiri sambil merintih menangis pilu, saat itu pula angin berhembus kencang membuat selimut yang tadinya tersampir di bahunya akhirnya jatuh kelantai. Suara gemericik air yang jatuh di genting mulai terdengar. Dari yang awalnya hanya sedikit, namun lambat laun menjadi hujan yang cukup deras seakan berbanding lurus dengan suara tangisan gadis yang terdengar kian menyedihkan itu.
Langit akhirnya menangis. Setelah langit terlihat ceria dengan mataharinya yang bersinar cerah beberapa hari ini, akhirnya bendungannya tumpah detik ini. Begitupula dengan gadis yang tengah mengeluarkan bendungannya juga.
Tak perduli cipratan air hujan mengenai tubuhnya yang sedang merunduk kelantai, ia tetap merintih pilu. Masih menahan diri agar tidak meraung walaupun jika ia melakukan itu sudah pasti akan tertutupi oleh suara hujan.
Seberapa keras gadis itu menahan raungannya, satu-satunya orang yang ia harap tak mendengar tangisnya akhirnya datang tanpa diundang. Baru saja orang itu hendak menyuruhnya masuk karena cuaca yang buruk, akhirnya orang itu kembali menutup pintu kaca kamar dan berbalik membatalkan niatnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe in MAGIC [FINISHED]
Teen FictionTentang dua orang manusia yang dipertemukan takdir bukan untuk bersatu, melainkan sebagai pemanis skenario Tuhan.