"Vanya?" suara lengkingan langsung menyambut Vanya saat ia masuk ke dalam rumah besar berwarna krem.
Vanya tersenyum saat melihat seorang wanita paruh baya yang sedikit menua karena dimakan usia, tapi tidak mengurangi kecantikannya. "assalamualaikum.."
"waalaikumsalam.. yaampun bener Vanya? welcome back sayang.." Feby langsung memeluk erat tubuh Vanya. Entah kenapa mata Vanya memanas namun ia mengerjap-ngerjapkan matanya agar air matanya tidak keluar.
Ia sadar, bukan hanya ia yang sakit kehilangan seorang ayah. Tapi wanita ini pasti juga sakit karena kehilangan calon suami yang dicintainya.
"makasih tante.." mereka berdua melepaskan pelukannya. Vanya mengusap ujung matanya yang berair sedangkan tante Feby sudah membuat muara sungai di pipinya. Mereka berdua lalu tertawa.
Vanya memang langsung berangkat ke luar negri tepat pada hari kelulusan SMA-nya. Tapi ia tidak putus kontak dengan Tante Feby. Mereka akan telfonan setiap seminggu sekali atau kalau keduanya sibuk mereka harus menyempatkan telfonan setiap dua minggu sekali.
Vanya mengambil kelas musik piano di Wina, Austria. Menarik semua dokumen yang akan pihak sekolah kirimkan ke panitia SNMPTN. Ia menghabiskan waktu seminggu penuh sendirian di dalam kamar semenjak kepergian ayahnya. Menangis hingga sempat sakit dan tidak mau bertemu dengan siapapun. Teman-teman dan keluarganya yang datang untuk melayat, tidak ada satupun yang berhasil membujuknya untuk membuka pintu. Hingga sampai dua hari kemudian, semua orang panik karena Vanya tidak pernah sekalipun keluar dari kamar sekedar untuk minum air. Mereka memutuskan untuk membobol kamar Vanya dari luar. Setelah bisa masuk, mereka langsung menemukan Vanya yang sudah pucat pasi berbaring di tempat tidur. Keringat mengucur dari seluruh badannya, rambutnya berantakan dan sedikit banyak menempel di dahi, tubuhnya sudah lemas tak berdaya. Feby dan yang lainnya panik dan segera membawanya ke rumah sakit terdekat.
Selama dua hari Vanya dirawat di rumah sakit karena dehidrasi. Dirumah sakit pun ia tidak mau dijenguk siapapun kecuali Feby yang mengurusnya. Tiga hari selanjutnya dia kembali berdiam diri di kamar rumah Feby. Beruntungnya sudah mau makan dan minum, itu pun hanya mau dengan Feby.
Vanya sudah semakin membaik dan mulai tersenyum kecil semenjak mendapat pelukan hangat yang selalu diberi Feby. Tapi masih sering melamun dan menangis sendirian.
Hingga seminggu telah berlalu, hari itu Vanya memutuskan untuk keluar dari kamar untuk menghirup udara segar. Ia berdiri di balkon rumah Feby yang menghadap ke kolam renang. Sejenak Vanya memejamkan matanya dan menghirup udara bebas. Sampai suara benda terjatuh dari arah belakang membuat Vanya membalikkan badan. Di sana Abra melebarkan matanya melihat kearah Vanya dengan tangan yang masih tergantung di udara seakan memegang gelas. Vanya melihat ke lantai, untungnya gelas plastik sehingga tidak pecah namun tetap saja ada air yang tergenang di lantai. Vanya tersenyum kecil dan mengangguk sopan pada Abra. Abra yang melihatnya langsung tersenyum lebar dan meluruskan tangannya yang sedari tadi menggantung di udara.
Keesokan harinya, Vanya memantapkan diri untuk masuk sekolah. Hari itu juga Vanya langsung menarik semua berkas dan syarat untuk mendaftar SNMPTN. Walau sangat disayangkan oleh para guru dan teman-temannya, Vanya hanya hanya menjawab dengan senyuman. Sahabat-sahabat Vanya, Dona, Ajeng, dan Shilla menangis haru melihat kembalinya dunia Vanya. Mereka berpelukan menguatkan Vanya dan mencoba mengerti dengan keputusan Vanya.
Walau dunia Vanya sudah tidak seperti dulu, tapi orang-orang terdekatnya mampu membuatnya bertahan hingga sekarang walau mereka berhubungan jarak jauh.
"Chika? Ini pasti Chika kan?" Vanya bertanya pada seorang gadis yang berdiri di belakang Feby. Gadis itu menjawab dengan anggukan malu-malu.
"wah Chika sekarang sudah besar ya.. tambah cantik" Vanya mensejajarkan badannya dengan tinggi gadis itu kemudian mengelus pipinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe in MAGIC [FINISHED]
Teen FictionTentang dua orang manusia yang dipertemukan takdir bukan untuk bersatu, melainkan sebagai pemanis skenario Tuhan.