EPILOG

40 7 0
                                    

"Ab, dimana? Jadi jemput aku kan?" Vanya menarik kopernya di dampingi oleh managernya yang sedari tadi mengipas-ngipas wajahnya karena kepanasan.

"iya jadi.."

"ya terus mana? Belum nyampe?" Vanya masih sibuk celingukan mencari Abra.

"liat kiri dong" ucapan Abra membuat Vanya langsung menoleh ke kiri. Disana dia. Laki-laki yang memakai kemeja yang digulung sampai siku adalah calon suaminya. Berjalan ke arah Vanya dengan ponsel yang masih berada di telinga sebelah kiri, dan sebuket bunga di tangan kanannya.

"i miss you" ucapnya lagi melalui telepon. Kemudian dia mematikan sambungan dan menaruhnya di saku celana.

"gila calon suami lo cakep banget beb" Beatrice yang berdiri di samping Vanya sampai terbengong melihat Abra.

Vanya sendiri melepaskan pegangan koper dan berjalan menuju Abra. Semakin dekat, semakin lebar senyum di wajah Vanya.

"i miss you too" balas Vanya ketika mereka sudah berhadapan. Abra memberikan buket bunga pada Vanya. Adegan romantis itu sampai direkam oleh beberapa orang yang berada di bandara. Sementara dua orang yang direkam, tidak perduli dengan keadaan sekitar dan masih tersenyum satu sama lain.

***

Vanya sedang sibuk mengarahkan pekerja yang sedang sibuk menghias rumah Abra. Rumah Abra akan menjadi tempat akad nikah mereka 3 hari lagi. Sedangkan Beatrice, manager Vanya juga sibuk mengikuti Vanya kemanapun Vanya pergi.

"beb lo beneran bakal tinggal di Indonesia?" tanya Beatrice dengan cemberut.

"iya Bet.."

"yah terus gue gimana?" tanya Beatrice lagi.

"mas itu tolong tambah bunga warna pinknya lagi ya dikit" Vanya menunjuk ke arah yang ia maksud. Kemudian dia berjalan lagi hendak melihat hiasan-hiasan di tangga.

"ya terserah lo Bet mau ikut tinggal di Indonesia atau masih mau di sana" jawab Vanya sambil melihat-lihat bunga yang di susun di tangga rumah Abra.

"kalo gue di Indonesia gue tinggal sama lo?" tanya Beatrice lagi yang membuat Vanya menoleh sinis ke arahnya.

"menurut lo?"

"emang kalo lo di sini lo mau kerja apa? Lo kan gak terkenal di sini" cibir Beatrice.

"ya banyak. Gue bisa buka kelas piano. Lagian SUAMI gue punya uang kok buat hidupin gue" sewot Vanya.

"ih! Sombong banget. Trus kalo lo ga nampil lagi gue kerja apaan dong?"

"nah itu urusan lo" ucap Vanya sambil tersenyum manis ke Beatrice

"VANYAAAAAAA" suara lengkingan dari 3 perempuan yang berada di pintu rumah membuat Vanya menoleh dan tersenyum bahagia.

"haiiiii kalian!!" Vanya segera berlari menghampiri tiga sahabatnya.

"Vanya! Nya!" teriak Beatrice yang terus mengikuti Vanya.

"yaampun apasih Bet! Bentar dulu pusing guee"

Beatrice melihat sambil merutuki Vanya yang sedang memeluk sahabat-sahabatnya itu.

"udah nanti saya bantuin kamu nyari kerjaan di sini. Dari pada kamu di sana kan, gaada temennya." Abra yang memakai baju santai muncul dari belakang Beatrice dan memberikan harapan pada Beatrice.

"yang bener mas Abra?!" teriak Beatrice. Abra yang mendengar panggilan baru Beatrice langsung mengernyitkan dahi memandang perempuan di depannya itu.

"eh, pak Abra maksudnya. Hehehe" ralat Beatrice. Abra hanya menghembuskan nafas lega.

***

Abra menggenggam erat tangan Vanya. Mereka memasuki rumah besar berwarna putih itu.

"pak ketua datang, pak ketua datang!" teriak seseorang di sana yang membuat Vanya menoleh tersenyum ke arah Abra. Mereka berdua terus berjalan sampai menuju sebuah taman belakang rumah tersebut.

Rumput yang hijau, terdapat banyak lampu-lampu kecil bergelantungan, bunga terdapat dimana-mana, dililitkan di pohon, dililitkan di tiang gazebo, daun-daun menjalar memenuhi dinding di sekeliling halaman yang menjulang tinggi, gazebo putih yang terletak di ujung halaman bersinar terang, di depan gazebo tersebut ada karpet yang terdapat banyak bantal. Vanya merasa de javu. Suasana ini persis ketika ia menghadiri perpisahan panitia Highschool Festival. Bedanya, laki-laki yang ketika itu sedang memainkan gitar di dekat gazebo, kini menggenggam erat tangannya.

"sambutlah pengantin baru kita.." Vanya tersenyum lebar mendengar teriakan Dion pada teman-temannya di taman.

"wah demi apa?"

"yaampun! Abra sama Vanya?!"

"oh jadi cinlok dulu itu?! atau baru ketemu lagi?" dan masih banyak celetukan-celetukan heboh yang diucapkan teman-temannya.

Vanya tersenyum sangat lebar malam itu. Anak-anak kecil bekeliaran, teman-temannya yang membawa pasangan masing-masing, harum masakan barbeque, lampu kerlap-kerlip yang cantik, dan pria tampan di sampingnya yang tidak melepas pelukannya dari tadi.

Malam ini walau tanpa bulan, ribuan bintang menjadi saksi bahwa Vanya sudah terlanjur jatuh dengan begitu dalam hingga tak sanggup bangkit lagi. Ia kalah. Pria di sampingnya membuatnya bersyukur atas hidupnya pada tuhan. Kini ia percaya, skenario tuhan memang yang terbaik.

Mereka berdua masih memandang bintang sambil tersenyum. Vanya menoleh dan sedikit mendongak untuk melihat Abra. Abra pun menoleh menatap Vanya yang sedang menatap kagum kepadanya. Ketika kepala mereka semakin mendekat dengan jantung yang berdebar, tiba-tiba suara gejrengan gitar membuat mereka menoleh.

"hey hey! Biar di ujung, ini juga masih tempat umum woi! Banyak anak-anak lagi. Mau pake kamar gue? gila ni bocah. Mesum lo!" teriak Dion pada Vanya yang membuat Vanya melempar flat shoes-nya.

"kok gue doang sih?! Dia gak lo sewotin!" kesal Vanya.

"yee itumah boss, ga berani gue." Ucap Dion yang membuat Abra terkekeh sedangkan Vanya memberengut.

"lah sama istrinya berani!" ucap Vanya lagi sambil memeluk Abra.

"yee kalo lo mah gue kelelepin juga berani gue. Sok lu, dulu aja nangis waktu acara ginian takut pisah sama mas Abra-nya"

"DION!!! DIEM GAK LO."

- SELESAI -


Believe in MAGIC [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang