6. Strangers

12 5 0
                                    

Harapan yang tersisa terasa pecah berkeping-keping karena sebuah kehilangan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, tak pernah terlintas dalam lamunan siangnya sekalipun.

Kenyataan menyayatnya dalam-dalam ketika sadar sepenuhnya jika ia tak bisa lagi berjumpa, menyentuh, atau mengobrol sepanjang waktu dengan orang yang ia kira akan berada di sisinya sampai tahun demi tahun berganti angka. Berpikir sendirian, apakah ikatan kehilangan dan kesedihan ini adalah sebuah hukuman berat atau memang seperti inilah rasanya hidup di dunia?

Ketika hatimu mendapat luka berturut-turut, menyisakan torehan duka yang beberkas, hanya ada sorot kesedihan yang berlarut-larut, apa yang akan kau lakukan?

Ketika jiwamu yang pasrah sesak tercekik rasa rindu yang membuat matamu berkabut, atau ketika ragamu sudah lelah mengusir kegundahan yang tak berbuntut. Apa yang akan kau lakukan?

Apa kau akan berdiam diri, membiarkan hatimu menangis hingga air mata mampu melunturkan segala lara, lalu membiarkan waktu bekerja menyembuhkan luka, dan berserah diri pada takdir?

Atau kau akan membalas segenap sakit hati yang telah kau terima; mula-mula memendam perih seorang diri, memupuk semua amarah yang kau simpan hingga hatimu kehilangan arah, hingga rasa yang kau pendam itu berubah menjadi dendam?

Jalan mana yang akan kau tempuh?

Setiap orang akan memilih untuk menempuh jalan yang berbeda-beda hingga ia bisa menemukan apa yang ia sebut kebahagiaan atau kelegaan atau apapun itu yang katanya pantas untuk diperjuangkan.

Elka hanyalah anak lelaki biasa yang lahir dari keluarga yang memiliki segalanya, namun ia sadar itu tak serta merta menghentikan salah satu wujud penyiksaan; kehilangan, yang mana ia tak kunjung mengerti apa maknanya. Ia lahir dengan keinginan memilih jalannya sendiri, jalan yang bisa membuatnya merasa bahagia.

Tidak peduli dengan kicauan orang-orang yang menyebutnya dengan berbagai sebutan; manusia brengsek, monster yang tak layak hidup, bajingan keji, atau bedebah biadab sekalipun, ia tidak akan membuang waktunya untuk memedulikan semua sebutan merendahkan yang ditujukan pada dirinya itu. Orang-orang hanya berani membicarakan itu di balik punggungnya, saat ia tak ada di sana, berkumpul bersama selayaknya kutu yang tak pernah berani muncul di pandangannya.

Sederhananya, Elka bisa merasa bahagia hanya dengan menyakiti orang lain--yang menurutnya pantas mendapatkan perhatian spesialnya.

Baginya, ada orang-orang yang tak pantas mendapatkan kebahagiaan. Ketika ia menggilas habis semua harapan mereka, Elka merasakan kepuasan yang melegakan. Ia suka dengan jalan yang ia pilih. Tidak ada seorangpun yang mampu membuatnya memilih atau memikirkan kembali jalan yang ingin ditempuhnya.

Elka lebih suka membalas perbuatan buruk orang lain padanya dengan membuat mereka merasakan sakit sepuluh kali lipat dibanding membiarkan mereka terbang bebas selayaknya burung tak berdosa.

Satu-satunya orang yang ia beri perhatian super-spesialnya ialah pelaku pembunuh ibunya. Orang-orang bilang ia harus merelakannya begitu saja, berlapang dada, menunggu mereka terkena imbasnya, begitu katanya. Tapi Elka lebih suka mengambil langkah di awal, ia sudah memilih jalan hidupnya sendiri. Kuncup amarahnya bermekaran menjadi sebuah dendam, seiring waktu, dendamnya akan semakin bertumbuh dan hanya akan layu begitu ia sudah mencincang kepala pelaku yang ia cari bertahun-tahun.

Di sinilah ia berdiri sekarang, di tengah hari yang panas membara, berjalan menuju sebuah rumah kecil sederhana berhalaman sempit. Kali ini, Elka dapat melihat dengan lebih jelas taman depan rumah yang terurus dengan baik. Seharusnya ia sedang berada di ruangannya yang dingin dan sejuk, duduk nyaman sambil bekerja sampai hari berakhir, bukannya melakukan hal menyebalkan yang mau tak mau harus ia lakukan.

Lost and FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang