16. Wolf's Eyes

10 4 0
                                    

Hiruk pikuk keramaian pusat kota di malam hari masih saja memekakkan telinga. Udara semakin dingin, namun itu tidak menyurutkan semangat orang-orang untuk keluar dari cangkang nyaman mereka. Ingin menikmati hembusan lembut angin malam atau menyambut gelapnya malam sembari bersenang-senang dengan orang tersayang.

Semua itu ingin sekali dilakukan Elka. Jika saja dia memiliki waktu untuk melakukan semua itu, ia akan menghabiskan malam seakan tidak ada hari esok.

Sudah lama sekali ia tidak merasakan kegembiraan yang menelusup ke semua bagian tubuhnya. Menghabiskan malam penuh suka cita bersama teman-temannya pun sudah jarang dilakukannya, karena yang ia lakukan sepanjang waktu adalah bekerja. Bahkan, waktu tidurnya yang berhargapun jarang dia dapatkan.

Bekerja dengan dikelilingi oleh orang-orang yang lebih tua darinya, orang-orang yang memiliki presepsi berbeda dalam menjalankan hidup. Karena ayahnya yang telah wafat, membuat Elka harus siap untuk menggantikan posisinya nanti dan juga menjalin pertemanan dengan teman ayahnya. Tidak banyak rekan kerja yang seumur dengannya. Ada tapi tidak banyak.

Elka turun dari mobilnya, berjalan diterangi lampu remang-remang yang menghiasai tepi-tepi jalan. Penjaga Black Ace-bar yang sering dikunjunginya-berdiri di depan pintu, membungkuk hormat saat Elka melintasi mereka.

Bar yang berada di salah satu sudut pusat kota itu adalah bar yang sering dikunjungi Elka jika ia memerlukan sesuatu yang tidak bisa didapatkan di manapun.

Elka hanya datang saat bar dalam keadaan sepi atau tidak ada pengunjung sama sekali. Ia tidak suka saat suara-suara orang menganggu urusannya.

Bartender dengan rambut cokelat yang diikat rapi menyerukan namanya ketika Elka berjalan menuju bar dan mengangkat tangannya dari saku celananya, menyapa sang bartender.

"Yoo, Rielka! Sudah lama kau tidak kemari, I miss you, man!" seru pemuda yang sedang memainkan cocktail shakernya dengan lincah.

"Masih banyak omong seperti biasa." Elka duduk di salah satu kursi, tersenyum tipis ketika temannya itu tertawa.

"Kapan sih kau tidak sibuk? Anak-anakmu sudah lama menunggu di sini."

Elka menerima gelas bening berisi cairan berwarna cokelat muda, Brendi. Ia mencium aroma minuman itu lalu menyesapnya sedikit demi sedikit. "Dimana mereka?"

Davis membungkuk, mengambil sesuatu di bawa meja bar. Tak lama kemudian, ia menenteng sebuah koper hitam dan meletakannya di atas meja.

Dengan tidak sabar, Elka membuka koper itu. Pria dengan jaket hitam itu berbisik kagum, "Woah." Ia menggerakkan tangannya untuk meraba anak-anaknya itu. Tiga variasi pistol Glock, mengkilap dan tampak gagah walau mereka termasuk senjata sederhana.

Elka mengambil salah satunya, ia tersenyum puas.

"Sepertinya, ada yang yang mencarimu."

Elka diam sejenak lalu menoleh sedikit ke belakang. Ia menyeringai angkuh. Sesuai dugaannya, cepat atau lambat, orang itu akan menghadap padanya.

Seorang pria paruh baya berdiri tegap di dekat tempat duduk Elka. Meski tubuhnya tegap bagai tidak akan tumbang meski di dorong sekelompok orang, sebenarnya, tubuh pria itu gemetaran dengan rasa penyesalan menusuk di setiap kulitnya.

"Maaf tuan," kata orang itu singkat, sedikit gugup.

Masih dengan tangan yang meraba-raba pistol, Elka mendengus pelan, ia membalikkan tubuh ke arah pria yang sekarang sedang menunduk takut. Jika saja suasana hatinya sedang buruk, tanpa pikir panjang, Elka pasti sudah langsung mencoba pistol barunya ke kepala orang itu.

Lost and FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang