47. Efek Kemarahan

4 0 0
                                    

"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif..."

Elka menarik napas dalam-dalam untuk mengontrol rasa kesalnya, ia berhasil untuk tidak menutup pintu mobil dengan kasar. "Ah, sial." Elka menghela napas pelan selagi sibuk mengontrol kemudi. "Aku rindu sekali padanya."

Saat ini, keadaan Elka belum lepas dari keterkejutannya. Bahkan amarahnya tidak bisa bangkit karena dilumpuhkan oleh rasa terkejut bercampur rasa kecewanya. Sebuah hadiah besar didapatkannya hari ini, sebuah kenyataan yang mau tak mau memang harus bisa diterima.

Otaknya meyakini bahwa dugaan Yuko benar adanya karena semua bukti perbuatan Samara masuk akal dan kemungkinan besar ia memang telah dikelabui. Adiknya selama ini bersandiwara di depannya dengan begitu baik tanpa cela, tanpa mengundang curiga.

Elka tidak bisa mengelak, hatinya merasa sangat sedih, kepercayaannya seakan diinjak-injak hingga rusak tak berbentuk, ia masih berharap bahwa Samara memiliki penjelasan yang bisa membuatnya percaya lagi, penjelasan logis untuk menyangkal semua bukti-bukti yang ada.

"Tentu saja ini tidak bisa dibiarkan begitu saja," tukas Elka dengan gigi terkatup rapat, ia mendengus singkat, ujung bibirnya terangkat membentuk garis tipis senyum saat memikirkan apa pelajaran yang bisa diajarkan untuk adik kesayangannya itu.

Setengah perjalanan menuju rumah Naori sudah dilaluinya, tepat saat mobilnya berhenti karena lampu lalu lintas yang sudah berubah warna, Elka mencoba menghubungi ponsel Lian lagi. Ia menghembuskan napas lega saat nada sambung kini sudah terdengar.

Kepala Elka yang tertunduk langsung bergerak tegak saat sambungan telepon sudah terhubung, ia membenarkan posisi handsfreenya, dengan mata melebar Elka bersuara, "Halo? Halo, Li..."

Sambungan langsung terputus begitu saja. "...an."

Elka kembali membenturkan pelan kepalanya pada setir mobil.

Waktu lalu ia menyebut Yuko orang yang tidak tahu diri, tapi sebenarnya—dan ia baru sadar sekarang, orang yang tidak tahu diri itu adalah dirinya sendiri. Lian selalu ada di sisinya. Dari sebagian besar waktunya beberapa tahun ini, memori yang paling jelas tercetak di kepalanya adalah tentang keberadaan sosok Lian yang selalu berusaha menjaga kepercayaannya dan belajar memahami dirinya (mungkin tidak selalu karena beberapa kali Elka merasa Lian tidak mengerti dirinya dengan baik).

Meski tempramennya sudah bisa lebih diatur, tapi hal itu tidak menutup kemungkinan kalau amarahnya bisa meledak-ledak kalau ada sesuatu yang menyulut sumbunya. Masih ada banyak yang belum bisa ia perbaiki; tidak mau kalah, sukar mengakui kesalahan, dan ada banyak lagi yang lainnya. Namun Lian tetap berada di hidupnya, memberikan banyak curahan cinta, tapi pada dasarnya Elka memang bajingan, ia bisa buta akan hal itu saat sedang terbungkus emosi.

Itu membuat Elka malu pada dirinya sendiri. Ia lupa jika ia bisa saja kehilangan pemberian tulus itu sewaktu-waktu, tanpa diduga-duga, jika ia tidak becus menjaga dan malah tak sadar membuangnya karena sifat dan sikapnya.

"Aku tidak bisa menyalahkannya. Dia begitu karena sikapku sendiri," ucap Elka pasrah. "Aku memang cukup menyebalkan."

Kedatangan Elka di rumah Naori disambut oleh para anjing tetangga yang ribut menyalak meminta perhatiannya. Elka menatap tajam para anjing yang bisa dilihatnya dengan sinis. "Dasar anjing-anjing ini, suka sekali cari perhatian."

Elka melihat chat beruntunnya sudah dibaca oleh Lian sejak tadi. Ia segera menghampiri pagar rumah Naori yang tingginya sampai menutupi batang hidungnya. Ia berteriak memanggil penunggu rumah, berhenti sebentar untuk berdesis ketika suara anjing-anjing jadi semakin ribut. "Lian, ayo pulang!"

Pintu depan berwarna putih itu terbuka. Naori muncul sambil mengisyaratkan Elka untuk menunggu, tak lama kemudian, Lian turut keluar dan memeluk Naori setelah memakai sepatunya.

Lost and FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang