18. Kakak Ipar

11 4 0
                                    

Tubuh Lian membeku mendengar seruan Fina dari dalam dan saat melihat bagaimana wanita itu memeluk Fina dengan akrab. Ketika melihat senyum wanita itu, Lian menyadari suatu hal. Dia perempuan muda di dalam foto itu.

Bodoh! Lian merutuki dirinya sendiri. Ia telah membuat kesan pertama yang buruk dengan kakak Elka.

"Hai manis, aku Keina, salam kenal." Wanita itu tersenyum ramah sambil mengulurkan tangannya.

Malu-malu, Lian mengulurkan tangan dan menyebut namanya. Ia tidak menyangka jika kakak Elka akan datang hari ini. Seharusnya ia melihat dulu siapa yang datang dengan benar. Ini adalah sebuah pelajaran yang harus ia ingat untuk berikutnya.

Sementara Fina mengambilkan minuman. Kedua perempuan itu berjalan menuju ruang tamu. Karena masih malu, Lian berjalan dengan menundukkan kepalanya hingga mereka duduk di sofa ruang tamu.

Menyadari sikap Lian, Keina tersenyum. "Sudah, jangan dipikirkan, kau kan tidak melakukan kesalahan."

Lian mengangkat kepalanya, menatap kakak Elka. Ia terdiam sebentar, memperhatikan wanita di depannya itu. Senyumnya sama persis seperti di foto yang dilihatnya. Semakin dewasa, kakak Elka semakin terlihat cantik, juga sangat hangat dan ramah. Berbeda sekali dengan adiknya yang seram. "Maaf ya, Nona Keina, saya sudah bicara tidak sopan."

Kakak Elka menggeleng. "Tidak apa-apa, santai saja, dan panggil aku kakak saja, aku sudah menjadi kakak iparmu." Ia mengedipkan sebelah matanya, membuat Lian merasa lebih nyaman, tidak terlalu tegang berada di depannya.

Ternyata kakak Elka sudah tahu mengenai pernikahannya. Lian berpikir jika pria itu tidak memberitahu hal ini ke siapapun. Mungkin kakak Elka datang saat hari pernikahannya atau Elka sendiri yang memberi tahu. Tapi, yang kedua rasanya tidak mungkin. Pria itu sepertinya bukan orang yang bercerita tentang hal ini mengingat ia sangat membencinya. Dengan canggung, Lian menjawab. "Baik, kak."

Keina meminum es teh lemon yang baru diantar oleh Fina. Segelas es teh lemon saat cuaca panas, Fina benar-benar mengerti cara memanjakan tamunya. "Jadi, bagaimana hubunganmu dengan Elka?" Tujuan Keina datang ke rumah Elka adalah untuk menemui Lian. Dari yang didengarnya, Fina berkata jika Elka terkadang membuat Lian kesusahan bahkan menangis. Itu sebabnya ia ingin bertanya langsung pada adik iparnya ini.

Lian memainkan jarinya, bingung harus menjawab apa karena tidak ada yang terjadi sebab ia memang tidak merasa punya hubungan apa-apa dengan Elka. "Uhm, begitu-begitu saja. Tidak baik dan tidak buruk, sepertinya."

Keina memperhatikan Lian yang tersenyum kecil. Sepertinya selama ia berada di rumah Elka, semuanya tidak baik-baik saja. "Aku dengar, dia membuatmu kesakitan bahkan menangis? Juga menjadikanmu pelayannya? Memang nakal sekali anak itu."

"Ah, tidak apa-apa, daripada aku hanya diam saja di sini, aku senang bisa membantu Fina," jawab Lian. Walaupun awalnya ia kesal karena pria itu seenaknya menjadikannya pelayan, tapi dengan begitu ia tidak terlalu bosan, bisa belajar memasak, juga bisa mempelajari seluk beluk rumah Elka agar mudah mencari jalan keluar.

"Maaf ya, karena adikku, kau harus diam di sini. Aku yakin kau akan segera dibebaskan." Keina terdiam sebentar. "Dia sangat mencintai ibunya, jadi dia berbuat sampai sejauh ini demi mendapatkan pelakunya."

Lian mengangguk. "Aku tahu. Aku harap dia segera mengirimku pulang."

Keheningan menyela pembicaraan mereka. Keina mendekat dan menggenggam tangan Lian. "Percayalah, sebenarnya Elka adalah laki-laki yang baik dan manis." Keina menghela napas, "dulu, aku ini sangat jahat pada adikku itu. Tapi, dia tidak pernah marah padaku, meski aku ini bukan kakak kandungnya."

Mata Lian melebar karena kaget. Bukan kakak kandung? Apa itu sebabnya Lian tidak melihat kemiripan di wajah kedua kakak beradik ini di dalam foto itu? Ia kira itu hanya perasaannya saja. Lian memajukan kepalanya sedikit, ingin tahu lebih jelas. "Bukan kakak kandung?"

Lost and FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang