35. Good Bye, El

8 1 18
                                    

"Tu-tuan...ap-apa yang..."

Lian berusaha mengais kembali napas dan sebagian kesadarannya yang berhamburan. Ia tercengang setengah mati hingga lonceng di dadanya berdentang terlalu keras hingga membuat darahnya berdesir deras.

Jangan tanya bagaimana keadaan wajahnya sekarang. Ia tidak tahu apa wajahnya berubah menjadi merah padam, merah jambu, atau merah bata, yang jelas, ia dapat merasakan seluruh wajahnya memanas.

"Sudah kubilang, aku bisa melakukan apapun pada apa yang menjadi milikku, bukan?"

Tulang-tulang di kaki Lian terasa berubah lunak karena mendengar suara pelan Elka yang mampu membuat bulu kuduknya berdiri, ia meletakkan tangannya di pundak Elka untuk menumpu tubuhnya karena Elka yang masih merengkuhnya.

Lian berusaha untuk berani menatap mata kelabu Elka, tapi apa daya, ia belum sanggup melakukannya.

"Tidak...tidak bisa begitu. Tuan tidak boleh melakukan apapun sesuka Tuan hanya karena..."

"Hanya karena kau milikku?" Elka mengangkat dagu Lian agar mata mereka bisa saling beradu. "Aku bebas melakukan apapun yang menjadi milikku, asal tidak menyakitinya."

"Tu...tuan tidak boleh mencium perempuan sembarangan."

"Sembarangan apanya? Kau kan istriku," sahut Elka tenang dengan salah satu alisnya yang terangkat. Berbeda dengan Lian yang masih gelagapan bicara.

Untuk beberapa detik, Lian dapat merasakan dirinya meleleh mendengar sebutan Elka, namun sesaat kemudian pungungnya kembali tegak, ia mundur selangkah, melepaskan diri dari tangan panjang Elka yang melingkarinya.

"Aku tidak pantas menjadi istri Tuan."

Sudah saatnya ia mengatakan apa yang sudah lama menganggu hatinya. Lian tidak bisa membiarkan Elka terus-terusan membuatnya hanyut dalam setiap perkataan yang mampu membuat inci demi inci hatinya menghangat tak karuan hingga meleleh.

Ada kenyataan yang seharusnya bisa membuatnya tidak terseret lagi semakin jauh. Kenyataan bahwa memang Jessy lah yang lebih cocok bersanding dengan Elka. Wanita dewasa yang ceria penuh kehangatan walaupun kadang sifat manjanya berlebihan, Elka pasti tetap mau menerimanya.

Lagi pula, tak ada jaminan jika perasaan Elka benar-benar asli, ia tak mengerti bagaimana perasaan Elka yang tidak menentu padanya. Lian tidak mau hanya diberi ribuan perhatian saat suasana hatinya sedang baik, lalu dijadikan pelampiasan ketika hati pria itu berubah keruh. Cukup sampai sini saja ia merasa terus disakiti. Sekarang waktunya untuk menyelesaikan semuanya.

Jari-jari Elka terjalin di belakang tubuh Lian dan menarik gadis itu mendekat lagi. Ia memandang Lian lekat-lekat walau mata gadis itu hanya berani menatapnya sebentar-sebentar. "Memangnya siapa yang punya kewenangan untuk memutuskan siapa yang pantas atau tidak menjadi istriku selain diriku sendiri?"

"Tapi...tetap saja, dilihat dari manapun, Tuan cocok sekali dengan nona Jessy. Dan, mengenai perasaan Tuan..."

"Jika kau melihat yang tadi, aku dan Honey tidak lebih dari teman dekat yang saling mendukung."

Tawa hambar lolos dari bibir Lian tanpa disadarinya. "Tuan bahkan punya sebutan spesial untuk Nona Jessy." Di depannya, Elka dengan santainya menyebut sebutan sayang yang diperuntukan untuk Jessy, seakan itu adalah hal yang biasa saja. Lian mencoba untuk menjauhkan diri (lagi) namun Elka tidak mau membiarkan ada jarak yang terlalu banyak di antara mereka berdua.

"Sebutan spesial apa? Maksudmu Honey? Namanya memang begitu, bodoh. Jessy Honey Dewi, dari dulu aku sudah memanggilnya begitu, apa ada yang salah?"

Oh ya Tuhan, Lian meringis dalam hati, ia tertelan oleh asumsi-asumsinya sendiri, padahal kenyataannya tidak seperti yang dipikirkannya. Bibir Lian membulat dengan yang matanya mengerjap. Ia langsung memalingkan wajah, merasa malu dan juga bodoh.

Lost and FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang