48. Rather Than Here

1 0 0
                                    

"Baiklah, sampai jumpa lagi besok siang." Lian balas melambaikan tangannya pada gadis yang diajaknya mengobrol di depan apotek sejak tadi.

Tak disangkanya ia akan bertemu dengan temannya saat hendak membeli suplemen penambah darah untuk persiapan hari haidnya, yang menurut kalendernya, tak lama lagi akan datang.

Teman barunya yang bernama Lovia itu adalah pengantin baru, ia adalah istri dari salah satu rekan kerja Elka. Jumat depan akan diadakan acara makan malam—acara privat sederhana—bersama yang diadakan oleh istri direktur pemasaran dalam rangka suaminya yang baru saja naik jabatan.

Selagi memasukkan barang belanjaannya ke dalam tas, ponselnya tiba-tiba bergetar. Sambil terus berjalan, Lian segera menerima panggilan telepon.

"Ya?" Lian melirik arlojinya sekilas. "Aku habis membeli sesuatu di apotek. Kau jadi mentraktirku makan siang? Katanya kau akan berangkat ke Singapore siang ini, apa tidak jadi?"

"Aih, untuk masalah ini kau memang tak akan pernah lupa. Iya, aku jadi berangkat tapi nanti malam. Sekarang aku sedang punya waktu luang, akan kukirim alamat tempatnya, tunggu. Kau bisa mencarinya, kan?"

"Sepertinya aku tahu tempatnya, kurasa tidak jauh dari sini."

"Aku tidak akan mematikan sambungan telepon, jadi kau bisa bertanya langsung selagi berjalan ke sini."

Lian berusaha mengambil napas dalam-dalam tanpa suara, ia harus selalu ingat untuk bersikap biasa saja pada Samara, menganggap tidak ada apapun yang terjadi sebelumnya tentang wanita itu, melupakan sejenak bahwa Samara ternyata sedang bersandiwara selama ini.

"Samara, jangan lupa, aku makannya banyak," ujar Lian memperingati lalu tersenyum saat mendengar gelak tawa lembut Samara di seberang telepon.

Lian menghentikan langkahnya saat para kendaraan masih melaju. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat tempat yang akan ditujunya. Ia berdiri sendiri menunggu di trotoar, tidak terlalu banyak orang yang berjalan di luar, mungkin karena cuaca sedang panas dan belum waktunya makan siang.

Meski suara ribut masih bergumul di udara, ia masih dapat mendengar celotehan Samara tentang bagaimana Elka baru saja memarahinya. Lian terkekeh dan menyahuti Samara. "Walaupun dia sering memarahimu, pasti di dalam hatinya dia sangat sayang padamu, iya kan?"

Sementara Samara kembali berbicara, Lian segera melangkah setelah lampu pejalan kaki sudah berganti warna. Ia berjalan sambil sesekali menoleh untuk memastikan keadaan jalan. Lalu ia tersadar sebuah mobil melaju cukup kencang dari kejuahan seperti ingin menerobos lalu lintas. Dengan segera ia berlari kecil untuk antisipasi, namun suara klakson yang menggelegar keras dan lama secara tiba-tiba membuatnya terkejut, belum sempat Lian menoleh, tahu-tahu pandangannya langsung berubah seolah bumi sedang berotasi kencang, dan tahu-tahu saja tubuhnya tergeletak sehabis menghantam jalanan yang terasa seperti baru saja dibakar matahari, barulah semua rasa sakit, perih, dan nyeri langsung bersatu menusuk dan merayapi sekujur bagian tubuhnya.

Dengan mata menyipit karena merasakan kepalanya mulai berdenyut tak karuan, Lian mencoba menggerakkan tangannya, mengerahkan secuil tenaga yang tersisa untuk meraih-raih ponselnya. Hilang, Lian tak mampu merasakan dimana ponselnya berada. Sebelum kedua kelopak matanya turun bersamaan, ia bisa mendengar banyak gesekan alas kaki yang datang mendekatinya, seruan orang-orang yang tak lagi terdengar jelas di telinganya dan bayang-bayang buram seseorang menyerupai sosok yang dikenalnya berdiri tak jauh darinya, ia cukup yakin jika orang itu adalah Samara, tak dapat dilihatnya lebih jauh bagaimana ekspresi wanita itu.

"Tolong...aku," bisiknya lemah seiring dengan air matanya yang mulai meluncur pelan dari ujung matanya.

-----

Lost and FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang