42. Throw Up

8 0 0
                                    

Dapat dimengerti mengapa keluarga yang sedang merayakan acara meriah ini mampu memperoleh kekayaan yang melimpah, yang tak mudah rapuh, serta dapat bertahan hingga cucu-cucu bahkan cicitnya nanti menjadi sepuh.

Seperti yang dikatakan Elka, perjuangan keluarga ini bukan main-main untuk mencapai puncak kejayaan yang dapat menyilaukan mata para pendengki yang hendak menjatuhkan. Tapi dibalik itu ada sisi gelap yang berputar dalam keluarga itu, Lian tidak mengerti apa maksudnya, mungkin tentang bagaimana mereka mempertahankan kekayaan atau menghadapi persaingan, ia belum bertanya lebih lanjut.

Bagaimana mereka rajin memberi atau memerlakukan manusia tanpa memandang derajat dan status benar-benar membuat Lian terpana--berdasarkan dari cerita Elka.

Putra dari keluarga ini, yang menjadi bintang malam ini tampak bersinar. Wajahnya rupawan, tingkah lakunya patut menjadi teladan, tutur katanya sopan, baik pada yang lebih tua maupun yang lebih muda seperti Lian. Tipe lelaki idaman para perempuan.

"Kau bisa mengambil bagianku jika kau mau." Elka menyenggol Lian pelan menggunakan sikunya.

Lian mendekatkan tubuh pada Elka. "Aku sedang diet."

Gelak mencemooh berhembus di telinga Lian. "Sebenarnya apa definisi diet bagimu? Kau sudah makan dua piring kue."

Menjawab kata-kata Elka, Lian hanya bisa tersenyum polos dengan menunjukkan barisan gigi geriginya. "Mau kuambilkan minum? Mau teh hangat?"

"Aku yang akan ambil sendiri, sekalian minuman tambahan untukmu."

Lian menahan lengan Elka, ia berdiri. "Biar aku saja, kau pasti lelah habis berkeliling tadi. Duduk manis saja di sini, Sayangku."

Seandainya Elka tidak mampu menahan diri, ia bisa saja menerkam bibir Lian saat itu juga, lagi pula para tamu tengah sibuk sendiri, ia ingin sibuk juga berdua bersama Lian, meski kesibukannya berbeda dari orang-orang di sini.

"Terima kasih," ucap Lian ramah saat seorang pria memberikannya secangkir teh yang tadinya sudah pria itu ambil lebih dulu.

"Ladies first." Setelah menoleh singkat, suara berat pria itu terdengar. "Kau suka teh?"

Lian batal membalikkan tubuh saat mendengar pertanyaan itu. "Ah, ini untuk suamiku, dia suka sekali teh."

"Oh, selamat menikmati tehnya." Pria itu lantas berbalik pergi.

Cangkir keramik dengan ukiran bunga teratai dengan warna yang cantik diletakkan Lian di depan Elka. Pria itu sedang berbincang masalah bisnis dengan Deiro dan Yuko, ia mendengarkan walau tidak begitu paham keseluruhannya sambil kembali menyantap sisa kue keringnya.

"Kau tak perlu kutemani menemuinya nanti?" Yuko berkata sepelan mungkin dengan gelagat biasa agar tak ada yang curiga di dekatnya.

Dengan melakukan hal yang sama, Elka menjawab, "Tidak perlu, kau dengar jika dia hanya ingin berbicara empat mata. Aku tak mau kembali tanpa hasil, aku sudah menunggu bertahun-tahun untuk menemukan jawabannya."

"Boleh minta tehnya? Tenggorokanku kering karena menelan banyak kue-kue imut ini." Lian menempelkan dagu pada bahu Elka agar suaranya mudah diterima telinga Elka.

"Aku heran kenapa kau masih bertanya." Elka menoleh, tatapannya berubah lembut saat matanya beradu dengan mata Lian yang masih menatapnya dalan diam. "Apa? Kenapa diam? Mau kucium di sini?"

Karena tindakan tak terduga Elka, Lian menjauhkan kepala, masih saja merasa gugup karena ditatap seintens itu. Sebenarnya dari tadi ia sedang mengagumi wajah Elka, akhirnya ia menemukan alasan kenapa banyak pasang mata yang sering curi-curi pandang pada suaminya itu.

Lost and FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang