45. Semuanya Terjadi Begitu Saja

8 1 0
                                    

"Masalahnya belum membaik namun tidak memburuk juga. Aku berusaha untuk menyelesaikannya agar bisa cepat pulang."

"Aku sedang istirahat sebentar, kalau kau? Tidak lelah terus-terusan memikirkanku?"

"Mendengar suaramu bisa banyak membantuku, kau tahu itu kan? Jangan menyembunyikan wajahmu, aku mau lihat wajah jelek cemberutmu saat aku sedang tidak ada di rumah supaya aku bisa mengejekmu dan tertawa."

"Aku harap kau ada di sini agar bisa kupeluk lama tapi aku juga sedikit bersyukur kau tidak ada di sini karena aku jadi bebas mengejek tanpa takut kau memukul atau menjambakku."

Susah sekali lelaki itu mengucapkan dua patah kata yang ingin sekali didengar Lian; 'Aku merindukanmu.' Tapi mungkin bisa empat kata; 'Aku sangat merindukanmu, Sayang.'

Lian mengurai rambut-rambut yang menutup wajahnya sepenuhnya. Ia sedang menahan tangisnya dan ingin menyembunyikannya dari Elka dengan berlagak cosplay menjadi hantu dengan membawa seluruh rambutnya ke depan.

Baru saja Lian hendak berucap, tapi ternyata Elka sudah lebih dulu bersuara.

"Lian, aku juga sangat merindukanmu."

Pecahlah bendungan air matanya. Tangis Lian langsung menyeruak mendengar kalimat singkat itu—yang jarang sekali diungkapkan Elka secara langsung seperti ini. Setelah memasang wajah senang cukup lama dari awal video callnya itu, sekarang ia tak bisa berpura-pura lagi dan langsung menyatakan semua rasa rindunya. Ia benar-benar sedang ingin sekali dipeluk dan dicium Elka. Rasanya pekan depan terasa begitu lama, ia merasa ingin menyusul sekarang juga.

Sambil terisak Lian berkata, "Jangan terlalu lama betah di sana, cepatlah pulang, aku tidak akan mencubit lagi jika kau kentut sembarangan."

Wajah Lian merenggut kesal saat Elka malah terbahak lebar di seberang layar laptopnya.

"Sumpah, wajahmu jelek sekali."

Lian mendesis. "Kurang ajar, sempat-sempatnya dia mengejekku, aih, puas sekali ketawanya kalau sedang mengejek, awas saja—"

Kini giliran Lian yang tertawa keras karena melihat Elka yang terjungkal dari kursinya.

"Rasakan itu!" seru Lian ditengah tawanya. Dengan terengah-engah Lian berujar sedih, "kasian, lantainya pasti sedang kesakitan..."

Obrolan mereka lalu berlanjut lagi. Elka memamerkan beberapa makanan yang dibelinya di Negeri Matahari Terbit itu. Lian merasa cukup terharu karena inisiatif Elka yang membelikannya tanpa diminta terlebih dahulu. Lalu mereka serius membicarakan rencana bulan madu pertama mereka sebelum akhir tahun ini—yang sempat tertunda karena Elka dirawat inap akibat terkena tifus dan Lian yang super sibuk dengan sekolahnya.

Layar laptopnya sudah berubah gelap, wajah sumringahnya juga turut terlelap diganti dengan ekspresi kosong yang kini menatap pantulan bayangan wajahnya.

Ia menaikkan kaus lengan kanannya, meraba permukaan kulitnya yang dihinggapi tanda keunguan gelap lalu meringis saat ia sedikit menekannya.

Lian sadar akan satu hal. Saat sedang video call tadi, ia bukan hanya menangis karena sangat rindu dengan Elka, namun juga karena ia sedang bingung dan ketakutan.

Mau tak mau, benaknya kembali lagi diputari oleh kejadian tempo hari saat ia pulang kerja di tempat parkir kantor. Hari itu Elka memintanya untuk membawa pulang mobil yang dibawanya tadi pagi karena pria itu pergi ke bandara bersama Yuko.

Hari sudah sore menjelang malam, Lian sedang bertelepon dengan Elka yang baru tiba dan beristirahat di hotel. Tepat setelah sambungan berakhir, orang-orang yang tak dikenalinya yang sedari tadi bersantai di dekat dinding tiba-tiba mendekatinya, seperti ingin menghalangi jalannya. Sambil menahan kepanikan dan menjaga ketenangan, Lian merogoh kunci mobil dari dalam tasnya, berupaya berpikiran positif bahwa bukan dirinyalah target dari orang-orang yang tampak menyeramkan itu.

Lost and FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang