1. ANGGA RENGGANA

1.4K 56 3
                                    

ANGGA RENGGANA

MARET 2005

Di taman rumah sakit−di bawah pohon ceri, aku dan Maudi duduk berdua menatap bunga anggrek. Di taman ini belum begitu ramai. Hari ini aku akan melakukan sesuatu yang paling dibenci. Kami masih saling terdiam. Tidak tengah marahan, melainkan bernegosiasi untuk kebaikan semua.

Maudi tertunduk menatap sandal jepit ungunya seraya memainkan kerikil di bawah sandal. Rambutnya yang biasa tergerai, kini diikat ke belakang. Wajahnya pucat pasi dan tubuhnya pun semakin kurus. Jika mengingat ke belakang−di kala kami baru saja berkenalan dan pertama kalinya dia ikut berorganisasi, aku selalu tersenyum simpul sebab saat itu adalah masa-masa termanis dalam hidupku.

OKTOBER 2004

Aku tengah mengeringkan rambut cepak yang baru saja dipotong kemarin sore sepulang sekolah. Meski cepak, jika basah tetap harus dikeringkan dengan handuk. Aku tidak mau kerah seragam menjadi basah. Seragam putih abu melekat di tubuhku. Usiaku sudah menginjak angka tujuh belas, kata orang di masa ini adalah saat bahagia dalam hidup.

Aku berdiri di depan jendela kamar seraya melihat pemandangan taman belakang yang dihiasi tanaman anggrek milik Bunda, terlihat segar dipandang. Kamarku bernuasa putih hitam menghiasi seisi kamar. Memang, aku terinspirasi dari catur. Saat waktu senggang, aku suka sekali bermain catur bersama Bang Agra atau Ayah. Di beberapa sisi kamar menempel poster club sepak bola kesukaanku.

"Angga, buruan! Abang telat nanti!" seru Bang Agra, abangku yang sudah duduk di bangku perkuliahan sejak dua tahun lalu.

"Iya, Bang!" sahutku setelah merapihkan rambut. Segera kuraih tas punggung hitam dan bergegas keluar kamar menuju ruang makan.

Ruang makan di rumahku sangat unik, dia menyatu dengan dapur dan lepas menatap taman belakang. Jika malam, pemisah ruang makan dan dapur dengan taman hanyalah pintu geser. Setiap pagi, Bunda selalu membukanya agar udara bersih dari taman masuk ke dalam rumah. Di meja makan, sudah tertata tiga piring nasi goreng buatan Bunda. Aku mengernyitkan dahi ketika melihat hanya tiga piring di atas meja, bukannya keluarga ini berjumlah empat orang? Benakku. "Ayah nggak pulang lagi tadi malam, Bun?" tanyaku ke Bunda yang masih mengisi gelas susu.

"Iya, Ga. Kata Ayah, pendonor untuk pasiennya udah ada," jawab Bunda.

"Akhirnya," ucapku lirih seraya mengambil segelas susu.

"Ga, ayo berangkat!" teriak Bang Agra dari luar. Suaranya sudah saling bersahutan dengan desingan mesin motornya.

Segera aku habiskan susu di genggamanku. "Bun, aku berangkat. Nasi gorengnya kasih Mang Asep aja." Aku mencium tangan serta kedua pipi Bunda sebelum berangkat sekolah. Di depan pintu rumah, aku menangkapi wajah Bang Agra yang sudah kusut, kesal menungguku. "Maaf, Bang," ucapku menyeringai.

"Besok-besok berangkat sendiri aja naik ojek, ya, Ga," kesalnya.

"Jangan gitu, Bang. Sorry. Besok-besok nggak akan buat nunggu lagi, Bang."

Bang Agra menghiraukan ucapanku. Segera dia melajukan motornya tinggalkan teras rumah.

Perjalanan dari rumah ke sekolah menempuh waktu kurang lebih lima belas menit dengan motor, itupun jika kondisi jalan tidak macet. Tinggal di kota besar seperti Jakarta menuntut penghuninya untuk bergerak cepat, telat sedikit bisa habis waktu di jalan. Setiap hari aku berangkat sekolah bersama Bang Agra, lumayan bisa irit ongkos dan nabung. Selama perjalanan, seperti biasa aku mendengarkan musik dengan headset di telinga. Aku sangat suka sekali mendengarkan musik. Bagiku, musik adalah jiwa. Dengan musik, aku bisa lebih berekspresi, sebab itu Ayah dan Bunda mendukungnya dengan menyediakan alat musik di lantai dua rumahku. Awal mula aku menyukai musik, ketika melihat Bang Agra pentas di acara PENSI sekolah di SMA-nya dulu dan kala itu aku masih SMP.

Coffee Break TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang