10. MAUDI MAERA

254 18 0
                                    


Aku menyusuli Angga yang sudah meninggalkanku. Kudorong infusan menuju lobi rumah sakit. Masih melihat punggung lelaki itu. Air mataku sudah memenuhi wajah. Dada terasa sakit sekali. Dengan sedikit tertatih-tatih, aku terus mengejar Angga. Namun setibanyaku di depan rumah sakit, sekumpulan orang tengah berkerumun di jalan raya. Bahkan ada beberapa perawat yang tengah mendorong ranjang beroda. Kecelakaan? Gumamku. Mataku menyapu sekeliling, tak ada Angga. "Ke mana dia? Apa dia benar-benar udah pergi?" lirihku.

Dua orang perawat mendorong ranjang beroda dengan seorang berlumuran darah di atasnya. Aku perhatikan pasien itu, sontak membuatku hampir pingsan ketika melihat siapa yang tengah tertidur di ranjang itu. "Angga?" lirihku. Tubuhnya terkapar dengan mengucur darah di kening dan beberapa luka di tubuh. "Aku sayang kamu, Maudi," ucapnya lirih ketika melewatiku, namun matanya terpejam. Rasanya aku ingin menangis sekencang mungkin dan berlari mengejarnya tetapi tubuhku tidak mengizinkan. Aku mematung di pintu rumah sakit dengan wajah sembab.

Kucoba meminta tolong perawat untuk membantuku mengejar Angga. "Suster, tolong bantu saya ke korban kecelakaan itu," pintaku seraya menunjuk ke arah Angga dibawa, "tolong, Sus. Dia teman saya," lanjutku.

Segera suster mengambil kursi roda dan aku duduk di sana. Suster mendorongku menuju UGD, tempat Angga dilarikan. Aku melihat angga tengah ditangani dokter dan perawat. Aku melihat dokter berusaha mengajak bicara lelaki itu. Sepertinya Angga masih bisa bicara. Namun, tiba-tiba seorang perawat berlari keluar, tak lama aku melihat dokter Agam masuk ke UGD dengan wajah cemas. Di depan Angga yang sekarat, dokter yang menanganinya bicara serius dengan dokter Agam. Terlihat raut cemas dan sedih di wajah dokter itu. Melihat hal itu membuat dadaku semakin sakit, sesak rasanya. Suster yang bersamaku menyadari keadaanku, ia panik dan setelah itu aku tak lagi sadarkan diri. Tak tahu lagi keadaan Angga. Mungkin ini akhir hidupku.

-----

Aku terbangun di dalam ruang ICU. Berbagai alat terpasang di tubuhku, oksigen terpasang di wajahku. Mataku menyapu sekeliling, hanya ada Ibu tengah tertidur di sofa. Entah apa yang terjadi denganku. Ternyata aku masih hidup.

Ibu terbangun lantas melihat ke arahku. "Kamu udah sadar, Nak?" sapa Ibu seraya menekan tombol panggilan ke ruang perawat. Tak lama dokter agam dan seorang perawat datang memeriksakan keadaanku, khususnya detak jantung.

"Bagaimana, Dok?" tanya Ibu cemas.

"Masih bekerja dengan baik," jawabnya dengan seutas senyuman.

"Terima kasih, Dok."

"Maudi istirahat aja!" intruksi dokter Agam.

Setelah mengecek semuanya, dokter Agam dan perawat keluar. Ibu duduk di sampingku seraya membelai kepalaku lembut. Aku berusaha bicara meski lirih. "Angga, Bu."

"Kenapa, sayang?" tanya Ibu agak mendekatkan wajahnya ke arahku.

"Angga, Bu," ulangku.

Ibu tak menjawab, mungkin Ibu tidak mengerti maksudku. "Udah, kamu jangan banyak bicara dulu. Pulihkan dulu kesehatan kamu. Di sini ada jantung orang baik," jelas Ibu sambil menunjuk dadaku.

"Aku dapat pendonor? Siapa, Bu?" tanyaku lagi.

Ibu mengangguk. "Iya, sayang. Dokter belum kasih tau siapa tapi Ibu yakin dokter udah memastikan jantung itu baik untuk kamu. Makanya kamu jaga, ya!"

Aku mengangguk pelan.

"Sekarang kamu jangan banyak berpikir dulu!" Ibu kembali membelai kepalaku lembut.

Beberapa hari aku di rumah sakit, melewati rangkaian check up untuk memastikan jantung baru baik-baik saja dan tubuhku tidak menolaknya. Sekian lama itu aku tidak bertemu dengan Angga. Apakah dia baik-baik saja? Apa mungkin dia sudah keluar dari rumah sakit. Setelah hari itu, aku rindu padanya. Sungguh. Setiap aku memikirkannya, rasanya jantung ini berdetak lebih semangat. Aku rindu senyumannya.

Coffee Break TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang