'Jantung ini akan terus berdetak selama cintamu mengalir dalam nadiku. Dan kini berdetak dalam tubuhmu, mengaliri darah ke nadimu. Tiap aliran itu akan mengingatkan, betapa besarnya cintaku padamu. Kenanglah dalam ingatan'
----------------------------------------
Hari ini jadwal check up kondisi jantung baruku. Aku sudah berjanji akan menjaga jantung ini hingga mati. Di dalam tubuhku ada cinta Angga yang begitu dalam. Aku berhutang banyak kepada lelaki itu, setidaknya cara membalas kebaikan Angga adalah menjaga titipannya.
"Hari ini jadwal check up." Ibu mengingatkanku seraya mengoles selai di roti.
"Iya, Bu. Mao pergi sendiri aja," jawabku datar.
"Nggak bisa. Ibu antar." Ibu melontarkan tatapan tajam ke arahku seolah menyuruhku untuk patuh.
Aku tidak menjawab apapun, hanya mengangguk seraya menyuap roti yang sudah Ibu berikan selai.
"Sekalian Ibu mau ketemu Dokter Agam, mau berterima kasih atas pertolongan anaknya. Kadang Ibu merasa bersalah sama dia. Sejak kamu kecil, Dokter Agam selalu melakukan yang terbaik untuk kesembuhan kamu. Ternyata takdir menjatuhkan anaknya sebagai pendonor buat kamu. Ibu merasakan kesedihan keluarga Dokter Agam." Ibu terus mengoceh hingga suaranya purau. Sedari tadi Ibu menahan sesak di dadanya. Mungkin, ingin menangis namun ditahan. Kebiasaan Ibu, ingin terlihat kuat dan tangguh di depanku.
"Mereka pasti mengikhlaskan, Bu." Aku menimpali ucapan Ibu seraya memasukkan roti ke dalam mulut.
Ibu menatapku tajam. "Iya. Kemarin Ibu bicara dengan Bunda Ane. Mereka udah mengikhlaskan kepergian Angga meskipun berat."
"Ibu ingat lipatan kertas yang Ibu kasih ke Mao setelah operasi?" tanyaku.
"Iya. Kenapa dengan kertas itu?"
"Mao nggak nyangka aja, itu surat terakhir yang aku terima dari Angga. Bisa dibilang kata perpisahan dari dia." Aku menunduk, entahlah rasanya sesak sekali jika mengingat kejadian itu.
Ibu terdiam mendengar ucapanku. "Ibu merasa bersalah, udah memarahi anak itu. Dia anak baik. Ibu menyesal." Ibu meneteskan air mata penyesalannya.
"Sudahlah, Bu, nggak perlu ditangisi. Angga belum mati, kok. Dia masih ada, di sini." Aku memegang dadaku yang berdetak jantung lelaki itu.
Ibu tersenyum mendengar ucapanku terakhir, lalu bergegas merapihkan meja makan. "Sekarang kamu siap-siap untuk ke rumah sakit. Lima belas menit lagi kita berangkat."
Aku meninggalkan ruang makan menuju kamar untuk siap-siap ke rumah sakit. Wajah lelaki itu terlintas di ingatanku seolah dirinya terus ada di sampingku. Jujur, aku sangat merindukannya. Memang, belum begitu banyak kenangan kita, bahkan foto berdua pun kami tidak punya. Hanya mading satu-satunya peninggalannya. Berkat lelaki itu aku bisa menulis lagi, bahkan bisa memfasilitasi teman-teman yang memiliki hobi yang sama. Terima kasih Angga. Kamu pahlawanku.
Di kamar, kuraih buku catatan Angga dan kubaca lagi. Tak terasa air mata kembali turun deras membasahi separuh wajahku. Segera kuseka sebelum Ibu lihat. "Angga, aku kangen kamu," lirihku seraya memeluk buku catatannya. Lalu aku membuka buku catatanku yang berisi rencana event mading yang sempat aku susun untuk diperlihatkan ke Angga, tetapi nyatanya event ini belum sempat lelaki itu lihat. Kini aku harus berjuang bersama timku untuk memajukan mading. Bukankah Angga susah payah mewujudkan ini semua?
"Mao, ayo berangkat!" seru Ibu dari ruang tamu.
Aku segera meraih buku catatan lantas memasukkan ke dalam tas. Aku menyusul ibu yang sudah masuk ke dalam mobil setelah mengunci pintu rumah. Ibu melajukan mobil setelah aku masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan seperti biasa, kami tidak berbicara banyak. "Ibu dukung kamu untuk mading dan menulis."

KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Break Time
Novela JuvenilTAMAT Kopi hitam itu pahit. Jika ditambahkan gula, dia tetap hitam dan pahit, tidak mengubah wujudnya. Bagi yang belum merasakan, akan beranggapan semua kopi itu pahit, padahal ada sedikit manis dari gula yang ditambahkan. Kamu hanya perlu mencicipi...