“Pi, aku mau di Jakarta aja,” bantah Junior di meja makan.
Tadi malam Papi pulang ke rumah, tidak biasanya. Antara senang dan malas juga bertemu dengannya.
“Kamu jangan bantah!” sentak Papi.
“Mami bantu aku, dong!” rengek Junior kepada Mami yang duduk di sebelahnya. Ya, memang pagi ini semua kumpul di rumah ini—rumah yang sudah tidak ada kehangatan lagi di dalamnya.
“Kamu harus patuh sama Papi, Junior!” Mami membelai kepala Junior dengan lembut, “Regan, kamu temani adikmu, ya!” pinta Mami padaku.
Aku yang baru saja menelan makanan yang ada di mulut, tiba-tiba tersedak. Kuraih air putih lantas kutegukkan. “Kuliah saya bagaimana?”
“Kamu bisa percepat. Semester depan kamu udah bisa skripsi, kan?” tanya Mami.
“Mami tau dari mana?”
“Mami ke kampus kamu kemarin. Mami mau memastikan. Kalau Mami tanya ke kamu, pasti nggak akan kamu jawab. Mami tau kamu, Regan,” jelas Mami dengan tatapan teduh.
Meskipun aku kesal dengan perceraian dan keputusan Mami yang lebih memilih lelaki lain, tapi aku tidak bisa meluruhkan posisi Mami. “Saya harus jaga kafe jadi nggak bisa percepat kuliah.” Aku berusaha mencari alasan.
“Bukannya ada Atan?” sanggah Mami.
“Mami kenal Atan?” Aku berkerut kening, bagaimana bisa Mami tahu semua.
“Kemarin Mami ke kafe kamu juga. Mami udah bicara sama Atan, dia sangat mendukung,” Mami mendekatiku, “Regan, meskipun kamu marah sama Mami, tapi nggak sedikitpun Mami marah sama kamu. Mami bangga sama kamu. Kali ini, Mami mohon percepat kuliah kamu dan temani Junior ke Belanda.” Mami membelai lembut kepalaku. Belaian ini sudah lama tidak aku rasakan. Rasanya aku kembali rindu kasih sayang Mami Papi.
Aku terdiam seraya menunduk. Makanan di atas piring belum habis namun nafsu makanku sudah hilang. Kutatap wajah Papi, Mami dan Junior bergantian. Dari hati, aku memang menyayangi mereka meskipun terkadang kenangan pahit itu membuatku murka. Aku menghela nafas berkali-kali. “Oke. Saya akan percepat kuliah. Semua untuk masa depan Junior.”
“Bang!” Junior tampak tidak suka dengan keputusanku.
“Di sini pergaulan lo nggak beres, Junior. Gue nggak mau lo balik masuk lubang hitam itu lagi. Lo butuh dunia baru dan gue akan terus memantau pergerakan lo,” tegasku.
“Tapi Bang, gue bukan anak kecil.”
“Buktikan kalau lo bukan anak kecil! Buktikan ke Papi, Mami dan gue tapi nggak di sini. Buktikan kalau lo mau kuliah di Belanda!” pintaku diiringi senyuman lega dari Papi dan Mami.
Junior menghela nafas. Dia tidak bisa berkata lagi. Mau tida mau, dia harus mengikuti keputusan orang tua.
Sejak hari itu, hubungan kami semakin baik.
Meskipun kami jarang ketemu karena papi kembali jarang di rumah, mami pun pulang ke rumahnya, setidaknya mereka menyempatkan untuk sekedar video call. Aku dan Junior kembali merasakan diperhatikan oleh mereka. Namun satu hal yang membuatku sedih, aku akan sulit bertemu Maudi. Sejak kejadian malam itu, tidak pernah bertemu dengannya. Hari ini sudah hari ketiga sejak malam itu. Ada perasaan rindu yang terbesit dalam hati. Meskipun aku tidak bisa bersikap manis padanya, tetapi aku memang merindukannya. Apa dia cari aku di kafe? Gumamku.
“Kamu tau Bang Agra yang sering juara lomba karangan ilmiah?” Seorang mahasiswi bertanya pada temannya saat aku melintas di samping mereka. Mendengar nama Agra disebut membuatku menghentikan langkah. Tidak bermaksud menguping, hanya ingin tahu kabar terbaru tentang lelaki itu. Siapa tahu aku bisa menemukan jawaban kerinduanku pada Maudi.
“Iya tau. Kenapa dia?” tanya Mahasiswi satunya lagi.
“Kabarnya tunangan sama anak sastra juga. Katanya, sih, semester satu.”
“Apa? Agra tunangan?” lirihku.
“Kalau nggak salah namanya Maudi.” Mahasiswi itu memperjelas.
Mendengar berita itu membuat hatiku hancur. Harapan yang kujaga beberapa bulan ini menjadi pupus begitu saja. Ini pertama kalinya kujatuh cinta sekaligus pertama kalinya patah hati karena cinta. Benar kata orang bahwa jatuh cinta itu tidak enak sebab jika jatuh sakit. Dan kini aku telah jatuh. Tiba-tiba napas terasa sesak.
Kenapa ketika sesuatu hilang, datang hal baru yang membahagiakan namun saat yang hilang kembali, hal yang baru datang akan pergi perlahan secara diam-diam. Apakah memang Tuhan menakdirkan demikian kepada setiap manusia? Apakah Tuhan tengah menguji kesabaran dan kesyukuran hamba-Nya? Jika iya, apakah aku harus mensyukuri patah hatiku?
Kedua mahasiswi itu menyadari keberadaanku yang masih berdiri di samping mereka. “Eh, Bang Regan, bukan?” tanya salah satunya.
Aku menoleh sesaat namaku disebut. “Iya,” jawabku dengan wajah datar.
“Ah, aku suka sekali novel Abang. Boleh minta tanda tangannya?” pintanya seraya merogoh tas lantas mengeluarkan novel pertamaku. “tanda tangan di sini, Bang!” pintanya seraya menunjuk ke arah buku.
Tanpa banyak tanya, aku segera melakukan permintaannya. Namun pikiranku masih terarah pada berita tadi. Ingin sekali aku menanyakan hal ini kepada kedua gadis ini namun segera kuurungkan. Itu bukan urusanku. Maudi bukan siapa-siapaku. Lagi pula jika aku menyukainya, belum tentu gadis itu menyukaiku. Memang, aku terkesan pengecut. Tidak memperjuangkan cinta yang seharusnya kuperjuangkan, tapi apa itu penting? Bukankah selama ini aku tidak pernah merasakan dicintai? Sulit untukku berkenalan dengan cinta.
“Terima kasih, Bang,” ucap kedua gadis itu seraya meninggalkanku dengan pikiran bingung. Lantas aku pun melanjutkan langkahku ke ruang administrasi akademik.
Namun ketika mendekati ruang akademik, mataku menangkap sosok Maudi yang tengah melintas di dekat sana. Segera aku menghampirinya. Entah apa yang ada dipikiranku sehingga memutuskan menanyakan langsung ke gadis itu. “Maudi, tunggu!” seruku saat tiba di belakangnya.
Gadis itu menoleh ke belakang lantas mempercepat langkahnya. Nampaknya dia ingin menghindariku.
“Maudi, tunggu!” seruku lagi seraya menangkap lengannya.
Gadis itu segera menepis genggamanku. “Ada apa?” tanyanya ketus, “aku ada jam kuliah sekarang,” lanjutnya.
“Apa benar kamu akan tunangan dengan Agra?” tanyaku tanpa basa basi.
“Bukan urusan kamu!” ketusnya lagi.
“Memang bukan urusan saya tapi saya ingin memastikan untuk langkah saya berikutnya.”
Gadis itu mentapa lekat mataku. Ada perasaan tertekan jauh di dalam matanya. “Iya aku akan tunangan dengan Bang Agra.”
Mendengar jawabannya, rasanya hati ini sakit. Sakitnya melebihi saat keluargaku hancur. Aku mengangguk. “Selamat, ya! Semoga hubungan kalian langgeng sampai pernikahan. Saya akan mendoakan yang terbaik untuk kalian,” ucapku dengan dada sesak, “salam untuk Agra. Kami sudah jarang ketemu. Mungkin dia masih marah. Sekarang saya tau kenapa dia semarah itu.” Tak tahan rasanya untuk berlama berdiri di hadapan Maudi. Aku anggukkan kepala pertanda pamit. Maudi pun tak menjawab apapun hingga ku menjauh darinya.
Kini harapanku akan cinta telah pupus. Sulit untukku mengenal cinta lagi. Kini aku mengerti apa yang Papi rasakan ketika tahu bahwa Mami lebih memilih lelaki lain hingga perceraian itu terjadi.
Aku kembali melanjutkan langkah ke ruangan akademik. Sesekali aku menoleh ke belakang, memastikan bahwa gadis itu masih berdiri di sana untuk menungguku berbalik ke arahnya. Namun harapanku lenyap saat kulihat gadis itu sudah menjauh tanpa menoleh ke arahku.
Aku menunduk. Gadis itu memang tidak menyukaiku. Pupus sudah harapanku. Gumamku.
“Ada apa, Regan?” Aku segera mengangkat kepala, melihat siapa yang berdiri di depanku. Lelaki paruh baya itu tengah bertolak pinggang.
“Saya mau mempercepat akademik, Pak,” jawabku gelagapan. Segera buang jauh-jauh pikiran tentang Maudi dan kembali ke tujuan utama.
“Ayo masuk!” ajak lelaki itu yang tak lain pegawai akademik yang sudah mendekati masa pensiunnya.
Usai mengurusi akademik, ada satu hal yang belum diselesaikan. Naskah Maudi belum kuserahkan ke Mas Panca. Kuraih ponsel yang sedari tadi disimpan di balik saku celana.
“Halo, Mas. Bisa ketemu? Oke, saya ke kantor Mas Panca.” Aku mengakhiri pembicaraan di telepon lantas meninggalkan kampus.---------
Kecewa dan sakit itu yang dirasakan Regan. Sekarang dia mengerti apa yang dirasakan papinya waktu tau maminya memilih lelaki lain.
Hancur pasti.Author juga hancur, secara pro Regan 😑
Kalau kalian gimana?
Leave me your comment! Jangan lupa vote juga, ya!
Good night and cheerio!
Salam,
Author
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Break Time
Novela JuvenilTAMAT Kopi hitam itu pahit. Jika ditambahkan gula, dia tetap hitam dan pahit, tidak mengubah wujudnya. Bagi yang belum merasakan, akan beranggapan semua kopi itu pahit, padahal ada sedikit manis dari gula yang ditambahkan. Kamu hanya perlu mencicipi...