20.2. REGAN PRADASHA

172 17 3
                                    

“Ini naskah siapa, Regan?” tanya Mas Panca seraya meneguk kopi hitamnya.
“Teman saya, Mas. Saya udah baca. Menurut saya, bagus. Seperti kisah nyata,” jelasku.
“Tapi Regan, nggak semudah itu kamu memasukkan naskah. Jangan karena kamu kenal saya, lalu kamu main terima naskah sembarang aja.”
“Saya tau, Mas. Coba Mas Panca baca dulu! Bukannya Mas Panca pernah bilang, jangan pernah underestimate sama karya penulis baru?” Aku mendekati Mas Panca dan memasang tatapan tajam.
“Oke. Saya akan baca naskah ini tapi nggak sekarang. Saya ada meeting.” Mas Panca mengambil naskah yang kupegang sedari tadi.
Ada rasa lega mendengar ucapan Mas Panca. Berharap ke depannya naskah maudi bisa diterbitkan di sini. Setidaknya aku bisa berguna untuknya, meskipun tidak memilikinya. Bukankah cinta tak harus memiliki?
Aku pamit kepada Mas Panca setelah memastikan naskah Maudi diterima dan akan dipelajari oleh Mas Panca. Banyak harapan yang disisipkan di sini.
Ketika aku hendak melajukkan motor, ponsel berdering. Tertera nama Agra. “Halo. Iya bisa, di mana?” setelah mendapat jawaban dari lelaki itu, telepon terputus. Aku segera melajukan motor ke tempat yang diminta.
Sesampainya di tempat itu—sebuah coffee shop yang tak jauh dari kampus, Agra sudah menunggu dengan secangkir kopi. Dia menyadari kedatanganku dan memberikan senyuman hangat. Sikapnya seolah tak ada masalah beberapa hari yang lalu. “Hai Regan, apa kabar?” sapanya basa basi.
I’m good,” jawabku singkat, “ada apa?” tanyaku sesaat duduk di hadapannya.
“Cuma mau bicara ringan sama kamu. Udah lama kita nggak bicara ringan.”
“Oh,” aku menatap wajahnya lekat, ada rona kebahagiaan terpancar di senyumannya, “Gra, saya minta maaf atas kejadian kemarin. Saya …”
Belum selesai aku bicara, dia sudah memotong ucapanku dengan tepisan tangannya. “Ah, sudahlah lupain. Aku nggak mau bahas itu.”
“Tapi saya masih penasaran dengan ucapan kamu tempo hari.”
“Ucapan yang mana?” tanyanya dengan kening dikerutkan, sepertinya dia benar-benar sudah melupakan hal itu.
“Kamu bilang saya nggak tau kalau Maudi … Maudi kenapa?” Aku mengulang ucapannya beberapa hari lalu.
Agra terdiam mendengar pertanyaanku. Senyum bahagianya seketika hilang. Apa mungkin pertanyaanku salah? “Sebenarnya aku nggak mau bilang ini ke kamu karena Maudi nggak mau kamu tau.”
“Soal apa?” Aku semakin penasaran.
Agra kembali diam dan menunduk. Sesekali mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. “Kamu ingat adikku yang meninggal?”
“Iya.”
“Maudi itu pacarnya. Waktu itu Maudi membutuhkan donor jantung segera. Angga mengalami kecelakaan dan fungsi saraf di otaknya rusak. Dia minta aku untuk kasih kartu donor jantung ke ayah yang notabenenya dokternya Maudi. Ayah yang menangani Maudi. Angga pesan kalau jantungnya untuk Maudi.”
“Jadi di tubuh Maudi ada jantung adik kamu?” aku memperjelas.
“Iya.”
“Jadi karena itu, kamu berani mengatur kehidupannya?”
“Maksud kamu?”
“Kejadian malam itu, sangat terlihat jelas kalau kamu terlalu mengatur ruang gerak Maudi.”
“Aku punya kewajiban untuk menjaga dia. Ibunya cemas.”
“Karena ada jantung adik kamu di dalam tubuhnya, kan?” Aku mulai kehilangan kesabaran, “andaikan jantung itu bukan jantung adik kamu, apa kamu se-protective itu? Saya rasa enggak.”
Agra terdiam dan menunduk. Sepertinya ucapanku telah menamparnya. “Kamu dekat dengan Maudi setelah transplantasi jantung adik kamu, kan? Kamu sadar nggak, mungkin selama ini Maudi dekat dengan kamu karena merasa hutang budi sama keluarga kamu?” Aku semakin menamparnya.
“Jangan bicara sembarangan, Regan!” sanggahnya dengan kesal, “aku minta ketemu bukan untuk bicara soal ini, tapi mau bilang kalau aku dan Maudi akan ….”
“Tunangan?” Aku memotong ucapannya, “kamu bangga bisa tunangan dengan dia?”
“Tentu,” jawabnya seraya senyuman nyinyir, “kenapa? Bilang aja kamu iri, Regan! Aku tahu kalau kamu suka dia.”
“Iya. Saya memang menyukainya tapi saya sadar kalau dia nggak suka saya. Dan, saya nggak memaksa dia untuk mencintai saya. Cinta itu nggak bisa dipaksakan, Agra. Saya rasa kamu nggak akan mengerti. Secara kamu selalu jadi The King sejak SMA. Kamu udah terlalu nyaman dengan situasi itu.” Aku terus meracau sehingga membuatnya geram.
“Aku nggak pernah maksa Maudi,” bantahnya.
“Oke, anggak aja begitu. Kalau kamu nggak pernah maksa dia, apa pernah kamu tanya perasaannya langsung? Apa pernah kamu tanya apa maunya? Apa pernah kamu dengar apa isi hatinya? Apa pernah …”
“Cukup Regan. Ini udah terlampau jauh pembicaraan kita. Aku nggak pernah ikut campur urusan pribadi kamu dan kumohon kamu jangan ikut campur urusan pribadiku.” Agra semakin geram. aku hanya tersenyum getir melihatnya. Sikapnya tak pernah ubah. Dia terlalu memaksakan kehendak seperti apa yang diinginkannya.
“Oke. Selamat atas tunangan kamu. Semoga kalian bahagia dan dilancarkan sampai pernikahan nanti. Saya hanya titip satu, bahagiakan Maudi. Jangan pernah sakiti hatinya. Kamu belajar pahami apa maunya dia. Jangan sampai  cinta kamu buat dia menderita.” Ucapan panjangku kali ini nampaknya membuat Agra malas mendengarnya. Memang terdengar menggurui seolah aku tahu banyak soal cinta. Aku memang tidak pernah pacaran namun aku tahu caranya memahami perempuan.
“Aku pulang dulu.” Agra pamit seraya bangkit dari kursinya.
“Hanya itu yang mau kamu katakan ke saya?” seruku saat Agra sudah meninggalkan kursinya. Lelaki itu hanya melambaikan tangan sembari terus melangkah menuju pintu keluar.

--------
Duh, author kok jadi sebal, ya, sama Agra.

Terima kasih, ya, udah baca.

Salam hangat,

Author

Coffee Break TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang