9. ANGGA RENGGANA

298 21 0
                                    


Keesokannya, aku mengunjungi rumah sakit tempat Maudi di rawat. Tadi pagi Bang Adil mengabariku bahwa Maudi sudah siuman. Sebelum ke rumah sakit, di tengah perjalanan aku sempatkan membeli bunga. Bunga di genggamanku kini sudah terangkai indah untuk perempuan tercantik di hatiku.

Kususuri lorong rumah sakit menuju ruang inap Maudi yang diberitahu Bang Adil sebelumnya. Di depan ruang inap, degup jantungku terasa lebih cepat. Aku masih belum siap bertemu keluarganya. Bukan karena aku mencintainya tetapi karena backstreet. Aku harus berpura-pura dan berbohong di depan keluarganya. Kutarik napas dalam-dalam lalu kuhempaskan pelan, diulangi beberapa kali. Kubuka pintu ruang inap bernomor 106 itu dengan perasaan gugup. "Permisi!" ucapku santun.

"Siapa, ya?" tanya sosok wanita paruh baya dengan rambut panjang diikat ke belakang.

"Saya temannya Maudi, Tante," jawabku gugup.

"Oh, iya. Baru kali ini loh teman Maudi jenguk. Setau Tante, Maudi nggak mau ketauan sakit sama teman-temannya." Wanita itu menaruh curiga di wajahnya.

"Kebetulan semalam, saya yang mengantar Maudi ke sini. Dia pingsan waktu acara semalam."

"Siapa namamu, Nak?" tanya wanita itu lagi.

"Angga, Tante."

"Jadi kamu yang namanya Angga yang ajak anak saya berorganisasi?" tanyanya ketus.

"Ibu, udahlah!" seru Maudi yang berbaring di ranjang putih dengan selang infus di tangannya dan selang oksigen melingkar di wajahnya.

"Oke." Ibu Maudi keluar dari ruangan, meninggalkan kami berdua.

"Angga, terima kasih udah jenguk aku. Besok, nggak usah jenguk lagi. Semoga aku udah masuk sekolah," larangnya.

Aku terdiam menatap matanya. Ada kebohongan di balik bola mata coklatnya. "Maudi, sebenarnya kamu sakit apa? Jujur!" tanyaku sedikit mendesak.

Perempuan itu terdiam mengalihkan pandangan.

Aku duduk di kursi, samping ranjang. Sekitar setengah jam perempuan itu memilih diam daripada mengatakan sebenarnya. Ada perasaan kesal dalam hati tetapi cintaku padanya mengalahkan itu semua. Kugenggam tangannya. "Sayang, bilang sama aku tentang penyakit kamu!" pintaku lembut.

Perempuan itu mendelik ke arahku. Begitu keras hatinya untuk memilih diam.

Tiba-tiba pintu terbuka. Terlihat seorang perawat mengatur selang infus dan mengecek selang oksigen, kemudian masuk sosok berjubah putih milik dokter. Sontak aku terkejut melihat dokter yang bersama Ibu Maudi. "Ayah?" lirihku.

Maudi mendengar lirihanku. "Apa? Ayah?" tanyanya terkejut.

Ayah pun sontak terkejut ketika melihatku berada di ruangan itu. Ia lebih terkejut ketika menangkapi tanganku yang masih menggenggam tangan Maudi.

Aku segera melepaskan genggaman itu dan beranjak dari kursi. Kudekati Ayah yang masih terdiam menatapku. Sejenak aku menatap bergantian ke arah Ayah, perawat, Maudi dan ibunya. Tatapan mereka pun seakan sedang menghakimiku. Setelah puas menatapi mereka dengan perasaan campur aduk, aku bergegas keluar dari ruangan itu.

-----

Makan malam terasa canggung, terlebih pada Ayah. Bunda menatapku dan Ayah bergantian, begitu pula dengan Bang Agra. Selama makan malam, aku tak berkata sedikit pun. Ada rasa malu, takut, bingung jika melihat Ayah.

"Angga udah selesai makan. Mau ke kamar dulu," pamitku beranjak dari meja makan.

"Angga!" seru Ayah, "Ayah mau bicara sama kamu."

Coffee Break TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang