15. REGAN PRADASHA

201 16 1
                                    


Hujan mengguyur kota ini sejak semalam. Aku duduk di atas kasur dan menatap deras hujan dari balik jendela kamar. Ini sudah larut malam tetapi tirai kamar belum juga menutup jendela, sebab aku tengah menunggu seseorang. Junior belum juga pulang, Papi pun. Papi sudah seminggu tidak pulang ke rumah. Terakhir dengar kabar dari bibi, dia ada rapat di luar kota. Entahlah, tak ada sepatah katapun yang terdengar darinya. Hubunganku dengan keluarga yang tidak sehat sungguh menguras pikiran. Tak ada yang bisa dipilih, aku tak memihak siapapun. Jika tak ada tanggung jawab, mungkin aku sudah tak peduli.

Jam dinding yang sudah menunjukkan jam dua malam. Sebenarnya sudah mulai mengantuk tetapi jika Junior belum pulang, rasanya tidak tenang. Aku keluar kamar dan menuju dapur. Secangkir kopi bisa menemaniku. Ketika aku tengah menyeduh kopi, bibi keluar dari kamarnya yang bersebelahan dengan dapur.

"Ada yang bisa Bibi bantu, Den?" tanyanya seraya mengucek mata.

Aku menoleh dan melontarkan senyum. "Nggak perlu, Bi. Bibi tidur aja, ya!" pintaku.

Tanpa banyak protes, Bibi mengangguk dan membalikkan tubuhnya—kembali ke kamarnya.

Ketika aku hendak kembali ke kamar, pintu rumah terbuka. Sebuah bayangan seseorang masuk dan mengendap-endap. Rumahku memang gelap jika sudah jam segini. Kopi dibiarkan di atas meja lantas perlahan aku mendekati bayangan itu. "Kenapa baru pulang?" tanyaku seraya menyalakan lampu.

"Eh, Abang."

"Kenapa baru pulang, Junior?" Nadaku sedikit naik, "tau ini jam berapa?"

"Abang nggak usah nunggu gue. Gue udah besar, Bang," jawabnya tak kalah tinggi.

"Udah besar lo bilang? Kalau udah besar, otaknya dipakai!" aku mendekati Junior, "nggak sembarang pulang malam dengan mulut bau alkohol. Lo minum lagi?" Mencium aroma mulutnya membuatku naik pitam.

"Abang jangan ikut campur!"

Mendengar kalimat itu lagi, tanganku langsung melayang ke wajahnya. Ini bukan kekerasan dalam keluarga tetapi dia laki-laki. Jika tidak diarahkan, bisa berantakan masa depannya. Apalagi, kedua orang tua kami tidak pernah peduli. "Dengan ucapan, lo nggak bisa berubah. Gue harap pukulan itu bisa membuat lo mikirr! Lo udah kelas tiga, Junior. Kalau kelakuan lo seperti ini, mau jadi apa? Apa susahnya pulang lebih cepat dan belajar untuk persiapan ujian nanti, hah?" Aku benar-benar sangat marah.

"Gue mau lulus atau enggak, siapa yang peduli, Bang? Papi? Mami? Siapa, Bang? Mereka nggak peduli sama sekali! Gue jadi berandalan, bahkan mati di jalan pun mereka nggak peduli, Bang!" pekiknya seraya memegang pipinya yang sakit akibat pukulan, "gue pulang cepat juga nggak ada yang bisa diajak bicara. Abang sibuk di kampus dan kerja, kan. Abang tau apa yang gue rasa? Gue kesepian, Bang! Kesepian!" pekiknya. Junior melesat pergi ke kamarnya.

Aku mematung mendengar kalimat terakhirnya. "Gue juga kesepian, Junior," lirihku sembari masuk ke dalam kamar. Pertengakaran itu membuatku lupa dengan kopi seduhan tadi.

Malam ini mata sulit terpejam. Memandangi rinai hujan dari balik jendela kamar sembari merebahkan tubuh di kasur, tenang rasanya. Tiba-tiba otakku mem-flashback masa-masa keluarga ini masih utuh dan bahagia. Kuraih ponsel lantas menekan sebuah nomor. "Besok bisa ketemu? Tempatnya terserah. Ikut aja. Iya. Terima kasih. Good nihgt." Kututup sambungan telepon itu lantas menarik selimut dan tidur.

***

"Pagi, Den Regan!" sapa Bibi.

"Pagi, Bi!" Pagi ini cukup cerah setelah semalaman hujan deras. Aku duduk di depan meja makan. Bibi menyiapkan beberapa helai roti beserta selai dan secangkir kopi hitam untukku. "Junior belum bangun, Bi?" tanyaku seraya mengoles selai di atas roti.

Coffee Break TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang