16. REGAN PRADASHA

196 12 0
                                    

“Regan!” seseorang memanggil namaku dari belakang.
Kuputar tubuh. “Eh Agra, apa kabar?” Kami bersalaman layaknya sahabat.
“Kabar baik. Kamu kayaknya kurang istirahat. Lingkar mata kamu makin mirip panda,” ejeknya.
“Bisa aja kamu, Gra,” jawabku seraya merangkul bahunya, “ada kuliah Selekta Lingustik Indonesia?” tanyaku.
“Iya ada. Kamu juga?” tanya Agra balik.
“Iya. Kita, kan, sama-sama semester tujuh dan di jurusan yang sama.” Kami menuju kelas bersamaan yang berada di lantai dua, namun ketika tiba di lantai dua, kami berpisah sebab Agra ada urusan dengan temannya sesama anak BEM. Aku lanjut ke kelas bersama mahasiswa lain. Di kampus, Agra dikenal pandai bersosialisasi dan cerdas. Kabarnya dulu dia hampir masuk fakultas kedokteran tapi minatnya jatuh ke dalam literasi. Siapa yang tahu. Minat literasi kami berbeda. Aku lebih suka ke dalam menulis fiksi sedangkan dia lebih ke jurnalistik dan terjemahan. Terakhir kabar tentangnya, dia kehilangan adik satu-satunya setahun yang lalu.
Aku masuk ke dalam kelas dan duduk di kursi paling depan sebab jika di belakang agak buram. Mataku sudah mulai tak sehat sejak terjun menjadi penulis novel. Kadang pakai kacamata tetapi masih lepas pasang—belum terbiasa. Tak lama duduk, dosen masuk bersamaan dengan Agra dan seorang wanita berambut panjang. Wanita itu duduk di sebelah Agra. Aku mengenali betul wajah wanita itu tetapi sepertinya dia tidak melihatku.
Perkuliahan dimulai namun mataku masih fokus ke wanita itu. Matanya yang memperhatikan penjelasan dosen sangat tajam. Ada yang mengganjal dalam pikiranku, bukannya ini mata kuliah semester tujuh? Kenapa dia ada di kelas ini? Atas dasar apa? Apa dia sudah mengambil mata kuliah ini? Aku menggeleng, membuyarkan begitu banyak pertanyaan yang ditujukan ke wanita itu. Aku mulai fokus ke penjelasan dosen. Mataku kembali ke ke layar proyektor yang menampilkan materi.
Usai perkuliahan Penulisan Kreatif, Agra keluar duluan setelah melambaikan tangan ke arahku. Sedangkan wanita itu masih membereskan alat tulis dan buku ke dalam tas. Rasanya, ingin sekali menyapanya tapi gengsiku masih terlalu tinggi. Ketika hendak keluar kelas, aku mencoba melihat sekali lagi ke arah wanita itu namun tetap tak melihatku hingga aku keluar ruangan—meninggalkannya.
Sebenarnya pagi ini cuma satu mata kuliah, ada lagi nanti siang. Di selang waktu itu, diisi di perpustakaan. Ketika hendak ke perpustakaan, aku berpapasan dengan Maudi. Lagi-lagi dia tidak melihatku, tapi temannya yang pernah ke kafe bersamanya waktu lalu melihatku. Aku hanya berikan anggukan ke temannya. Aku tak mengerti, Maudi menjadi orang lain jika di luar kafe. Padahal di kafe, dia bersikap begitu manis padaku.
Setibanya di perpustakaan, aku melihat Agra tengah menyalin sesuatu dari buku tebal di hadapannya. Aku menghampiri lelaki itu. “Salin apa, Gra?” tanyaku pelan.
“Eh, Regan, ini lagi cari referensi untuk lomba karya ilmiah,” jawabnya seraya mendongak ke arahku.
Aku mengangguk dan menepuk bahunya lantas menggeser kursi di sebelahnya dan kuletakkan tas di atasnya. Aku mendekati rak buku. Kulihat lagi Agra. Pikiranku masih mengusik pertanyaan, ada apa dengan Agra dan Maudi? Kenapa mereka datang bersamaan dan duduk bersebelahan seperti sudah saling mengenal? Aneh sekali, kenapa aku sebegitu ingin tahunya tentang gadis itu? Tak lama, aku melihat dua orang gadis mendekati Agra dan duduk di sampingnya. Lagi-lagi Agra dan Maudi serta temannya yang belum kutahu namanya, bicara begitu akrab
Aku berusaha menghiraukan semua pertanyaan dalam pikiran tentang mereka. Kuambil buku yang hendak dibaca lantas kembali ke kursi di mana tasku berada. Gadis berambut pendek tersenyum ke arahku dan menganggukkan kepalanya. Sedangkan Maudi masih terus bicara dengan Agra, serius sekali mereka. Tak banyak yang terdengar dari pembicaraan mereka. Saat aku duduk, pembicaraan mereka selesai. Satu hal yang terdegar adalah Maudi memberikan semangat kepada Agra dengan senyuman manis yang baru kulihat. Setelah itu, wanita itu dan temannya keluar dari perpustakaan. Agra kembali sibuk dengan salinannya.
Rasanya, ingin tahu apa yang mereka bicarakan namun itu bukan urusanku. Lagi pula ingin tahu urusan orang lain bukanlah sifatku. Tunggu, kenapa aku menjadi begini sejak bicara banyak dengan Maudi beberapa hari lalu? Kugelengkan kepala sekeras mungkin.

***

“Hari ini rame, Tan?” tanyaku seraya memasukkan tas ke dalam loker. Aku baru saja tiba di kafe setelah seharian di kampus dan ke kantor penerbit untuk menyerahkan naskah revisi kedua. Hari ini panas sekali di luar. Musim tengah tidak teratur, kadang hujan lebat, kadang panas terik seperti hari ini.
“Lumayan tadi pagi,” jawab Atan.
Aku mengenakan apron. “Syukurlah.”
“Regan, mau sampai kapan?” tanyanya tiba-tiba dengan wajah serius.
“Apanya?”
“Mau sampai kapan kamu berpura-pura?” tanyanya lagi.
“Siapa yang lagi-lagi pura-pura?” Aku tidak mengerti arah ucapan Atan.
“Mau sampai kapan berpura-pura menjadi karyawan di sini?” Atan mendekatiku.
Aku lontarkan senyuman. “Nggak tau,” jawabku singkat seraya membuat kopi untukku.
“Seharusnya lo fokus kuliah dan berkarya. Terakhir lo melahirkan karya setahun lalu, kan?” Atan mendekati mesin grinder , membuatkan pesanan yang baru saja masuk, “itu juga baru dikirim ke editor lima bulan lalu. Untung Mas Panca baik, jadi naskah lo didahulukan,” lanjutnya seraya menekan bubuk kopi dengan temper .
Aku tersenyum tipis mendengar ucapan kepedulian Atan padaku. “Thanks, Brother.”
“Untuk apa bilang terima kasih? Gue nggak kasih apapun ke lo.” Ia me-steam susu.
“Lo peduli ke gue, Brother,” gurauku seraya merangkul bahunya.
“Hei, hati-hati, Regan! Ini panas,” ucapnya seraya menunjuk ke mesin kopi.
Sorry,” ucapku menyeringai lalu mendekati mesin grinder untuk membuat pesanan yang lain.
“Terserah sajalah, Regan. Gue enggak paham arah pemikiran lo. You already have a plan, I guess.
Aku hanya menjawab dengan senyuman seraya memasukkan susu ke dalam kopi dan diakhiri dengan membuat pouring latte art.
“Oh ya, gadis itu nggak pernah ke sini lagi. Kalian baik-baik aja, kan?”
Pertanyaan itu sontak membuatku menatap Atan lekat. Ada apa dia menayakan hal itu? Aku tak menjawab sebab tidak tahu jawabannya apa. Aku pun bingung dengan sikap Maudi di kampus kemarin, seakantidak mengenaliku. “Enggak tau,” jawabku singkat.
Ketika kami tengah membicarakan Maudi, pintu kafe terbuka. Seorang gadis berambut pendek yang kulihat di kampus bersama Maudi. “Cappucino satu,” pesannya seraya menarik kursi tinggi dan duduk di sana. Ia mengeluarkan ponsel lantas memainkannya dengan wajah kusut. “Lagi kesel, ya, Kak?” tanya Atan seraya membuat pesanan gadis itu.”
Tak ada jawaban dari gadis itu. Ia masih tertunduk seraya menatapi ponselnya. Tak lama terdengar suara isakkan darinya. Aku dan menoleh spontan lalu kami saling tatap. Aku memberikan beberapa lembar tisu kepadanya. “Di minum dulu cappucino-nya!” ucap Atan seraya menyodorkan secangkir cappucino yang sudah dihias latte art secantik mungkin. Mungkin, maksudnya untuk membuat gadis itu tersenyum. Namun sayang sekali, tak ada seutas senyum pun yang terukir di wajahnya. Isakkannya semakin keras. Beberapa tamu yang duduk tak jauh dari bar, menoleh ke arah gadis itu. Aku takut mereka salah paham dan menyangka kami sudah membuat gadis itu menangis. Aku tidak terbiasa menghadapi gadis menangis di depanku. Aku memilih meyibukkan diri, tidak dengan Atan yang berusaha menghibur gadis itu.
“Air mata itu nggak gratis, loh!” ucap Atan sembarang.
Gadis itu tetap menangis. “Bodoh!” kesalnya. Kedua tangannya terkepal erat.
“Sabar, Ka!” ucap Atan dengan gaya cool-nya.
“Aku bodoh udah berharap banyak pada lelaki itu. Jelas-jelas dia tidak menyukaiku,” ucap gadis itu dengan wajah masih tertunduk.
Atan meraih gelas lantas diisi air putih, dia sodorkan ke gadis itu. “Diminum dulu, Kak, biar tenang.”

Gadis itu menuruti perintah Atan dan benar, dia menjadi lebih tenang. Maudi menyeka air matanya dengan tisu lalu meneguk air putih lagi. Setelah beberapa menit, gadis itu mengangkat wajahnya. Maudi menatap Atan yang berdiri di depannya dengan tajam lantas menoleh ke arahku. “Boleh minta air putih lagi?” pintanya seraya memberikan gelas ke Atan.
A

tan mengangguk dan segera mengisi ulang gelasnya. Atan mulai menenangkan gadis itu dengan gaya pedulinya hingga gadis itu memberanikan diri untuk curhat kepadanya. Luar biasa Atan.

-----
Sorry kemalaman, ya, folks soalnya lagi nggak enak badan.

Terima kasih sudah membaca 🤣

rose diana

Coffee Break TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang