13. REGAN PRADASHA

228 19 2
                                    

Hari ini aku akan menemui editor yang menangani naskahku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari ini aku akan menemui editor yang menangani naskahku. Dari pagi aku sudah berada di kafe tempatku bekerja paruh waktu, kami akan bertemu di sini. Sembari menunggu, aku bercengkrama dengan laptop dan buku catatan. Aku membuat cerpen untuk diserahkan ke media cetak remaja—sudah beberapa kali tulisanku mengisi kolom serba-serbi. Segelas Americano sudah habis setengah, mungkin sudah dingin. Sesekali rekan kerja yang incharge hari ini mengajak ngobrol ringan.

"Regan Pradasha!" panggil seseorang dari arah pintu kafe seraya merentangkan tangannya. Suara baritonnya terasa kental. Lelaki itu berpenampilan santai dengan kaos dan jaket coklat, sangat kontras dengan rambut sedikit gondrong.

Aku berdiri dan menyambut lelaki itu. Kami berjabat tangan dan berpelukan layaknya teman lama yang sudah lama tidak bertemu. Aku sudah dua kali di-editor-i oleh lelaki ini. "Mas Panca apa kabar?" tanyaku.

"Baik Regan," jawabnya dengan logat jawa yang kental.

"Duduk, Mas!" kami duduk berhadapan, "mau minum apa?" tawarku padanya.

"Espresso aja," pintanya.

"Bentar ya Mas, saya buatkan dulu." Aku beranjak dari kursi dan melangkah ke bar tempat kopi di racik. Tak lama segelas kopi sudah kusuguuhkan untuknya. "Espresso-nya, Mas."

"Terima kasih, Regan," ucapnya, "kamu udah buat naskah lagi?" tanyanya seraya mengaduk kopi hitam yang masih mengebul.

"Cuma buat cerpen, Mas," jawabku.

"Untuk media cetak remaja?" tanyanya lagi sebelum menyeruput kopi hitam.

"Iya, Mas."

Kami pun bicara ringan sebelum masuk ke pembahasan soal naskah. Ia menanyakan kabar Junior dan Papi. Aku mengenal Mas Panca ketika mengikuti event menulis novel setahun silam. Aku menjuarai untuk gendre thriller, sebelum vakum setahun mengurusi Junior di rehabilitasi pasca anak itu hampir overdosis.

"Ada beberapa revisi di naskahmu sebelum diterbitkan." Ia mengeluarkan print out dengan binder hitam tebal dari tasnya, sudah banyak coretan merah, "saya suka alur ceritanya," lajutnya seraya menyodorkan naskah itu kepadaku, "kalau ending-nya dibuat gantung gimana?" Ia memberi usul.

"Kenapa memangnya, Mas?" tanyaku heran seraya membolak-balikkan naskah.

"Sebelumnya kamu udah membuat gendre thriller yang conclusion-nya jelas. Nah pembaca sudah tau. Kali ini kamu buat yang nggak ada conclusion-nya atau biarkan pembaca membuat ending-nya sendiri sesuai versi mereka," jelas Mas Panca.

Aku diam sejenak membaca ulang ending dari naskah yang kupegang. Benar juga kata Mas Panca. "Iya Mas, saya revisi dulu."

"Ya udah, itu aja yang mau saya sampaikan. Saya ada janji sama penulis lain."

"Buru-buru sekali, Mas."

"Maaf ya Regan, saya nggak bisa lama chit-chat sama kamu." Mas Panca menyesap kopinya hingga tersisa setengah lalu bangkit dari kursi dan mengenakan tasnya, "keep in touch ya kalau udah selesai," lanjutnya

Coffee Break TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang