SEPTEMBER 2007
Kampus tengah ramai dengan bunga sana-sini. Mahasiswa semester akhir mengenakan kemeja putih, celana hitam beserta jas hitam, sedangkan mahasiswinya mengenakan kemeja putih, rok hitam beserta blazer hitam. Aku di sini tersenyum bangga kepada lelaki di depanku yang baru saja keluar dari ruangan sidang. Lelaki yang selalu bijaksana meskipun terkadang bisa bertingkah seperti anak kecil.
Bunda Ane ikut sibuk menyambut anak satu-satunya dengan rangkaian bunga. Aku ditugaskan Bunda Ane untuk membeli beberapa rangkaian bunga untuk hari ini.
“Selamat, ya, Bang!” ucapku seraya memberikan bunga lili putih kepadanya.
Lelaki itu menerima bungaku diringi senyuman manisnya lantas dia mengacak rambutku. “Terima kasih, adik kecil!” ucapnya gemas.
Aku membalas senyumannya. Bunda Ane dan Ibu ikut tersenyum ke arahku dan Bang Agra, bergantian.
“Kamu harus kuliah yang giat biar Ibu bisa lihat kamu pakai toga nanti,” bisik Ibu namun masih terdengar oleh Bunda Ane yang tersenyum geli mendengarnya.
“Doakan aja, Bu. Doa orangtua selalu mujarab,” candaku.
Ibu menyiku pelan lenganku. “Bisa aja kamu!” Ibu menyeringai.
Saat kebahagiaan mengelilingi kami, aku melihat sosok Regan melintas tak jauh dari tempat kami berdiri. Memang dia tidak menyadari keberadaanku. Dia tidak mengenakan pakaian yang sama dengan Bang Agra. Aku mendekati Bang Agra. “Regan nggak sidang?” bisikku ditelinganya seraya melihat ke arah Regan.
“Dia udah kemarin. Orang tuanya nggak ke sini jadi nggak terlalu mencolok,” jawab Bang Agra yang juga menyadari keberadaan Regan, “kamu mau ketemu dia?” tanyanya.
Aku menggeleng.
“Kenapa? Bukannya pembicaraan kalian belum selesai?”
“Nggak ada yang perlu diselesaikan. Dia juga nggak peduli. Bisa jadi dia nggak punya perasaan yang sama,” sanggahku.
Bang Agra terdiam.
“Sudahlah, lain waktu aja. Kita happy dulu hari ini,” Aku membalikkan tubuh agar tidak melihat Regan dan kembali membaur dengan Bunda Ane dan Ibu.
“Malam ini tidur di rumah saya, ya, Bu!” pinta Bunda Ane ke Ibu.
Ibu mendelik ke arahku.
“Aku terserah Ibu aja,” jawabku seolah tahu maksud delikkan Ibu.
*****
Malam ini dingin. Aku meringkuk di balkon kamar Angga. Kini kamar Angga sudah menjadi kamarku jika menginap di rumah ini. Jika Ibu menginap di sini, kadang Ibu ikut tidur di kamar ini, kadang pula di kamar tamu, sesuka hati Ibu saja. Memang, meringkuk di balkon malam-malam seperti ini menyenangkan. Terlebih lagi habis hujan. Aromanya khas, aroma tanah basah yang mampu menghipnotis. Makanya tak elak banyak yang menyukai hujan dan aromanya.
“Kamu lagi apa?” Bang Agra berdiri di depan pintu kamar lantas mendekatiku. Lagi-lagi dia mengacak rambutku.
“Lagi iseng aja, Bang,” jawabku seraya merapihkan rambut kembali.
“Maudi, kamu yakin nggak mau ketemu Regan lagi?” Pertanyaan itu lagi membuatku malas mendengarnya.
Aku memutarkan kedua bola mata. “Bang, ada topik lain nggak?”
Bang Agra tersenyum. “Kamu jangan terus pura-pura seperti ini.”
“Aku nggak pura-pura. Cuma butuh waktu mengembalikkan rasa itu lagi, setelah kecewa,” sanggahku.
Bang Agra mengangguk.
Hujan kembali turun namun tidak deras. “Kenapa banyak orang yang suka hujan?” Bang Agra mengalihkan pembicaraan. Ternyata dia mengerti mauku.
“Karena banyak kenangan yang terukir waktu hujan.”
“Padahal hujan terus-terusan bisa banjir tapi mereka nggak pernah benci hujan apalagi marah sama pemberi hujan.” Bang Agra menengadahkan kepalanya menatap langit.
“Karena hujan itu anugerah,” jawabku tanpa diminta.
Bang Agra menoleh ke arahku. “Seperti itu juga cinta. Banyak yang kecewa dan terluka karena cinta tapi mereka nggak pernah membenci cinta apalagi marah kepada pemberi cinta.”
Aku mengerutkan kening, bingung maksud ucapannya. “Abang nyindir aku?” tebakku.
Lelaki itu kembali mengcak rambutku. “Sensitif banget! Ada kalimatku yang nyindir kamu?”
Aku menggeleng seraya merapihkan rambut kembali.
“Maudi, semarah apapun kamu sama dia, sekecewa apapun sama dia, jangan pernah membohongi cinta. Hati kamu berhak tahu sampai mana kemampuannya. Jangan sampai kamu menyesali dan menangisi waktu yang terbuang.” Bang Agra melontarkan senyuman, “bertemulah dengannya, jangan sampai kamu menyesal,” lanjutnya seraya keluar dari kamar setelah mengacak rambutku lagi. “Jangan lama-lama di balkon! Angin malam nggak baik buat kesehatan,” serunya sebelum menutup pintu kamar.
Aku tersenyum mendengar kalimat perhatiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Break Time
Teen FictionTAMAT Kopi hitam itu pahit. Jika ditambahkan gula, dia tetap hitam dan pahit, tidak mengubah wujudnya. Bagi yang belum merasakan, akan beranggapan semua kopi itu pahit, padahal ada sedikit manis dari gula yang ditambahkan. Kamu hanya perlu mencicipi...