14. MAUDI MAERA

205 16 3
                                    


"Maudi, kita jadi ke toko buku?" tanya Aya yang kini satu kampus dan satu jurusan denganku.

"Jadi, tapi mampir ke kafe kemarin dulu, ya," jawabku seraya menyodorkan resep di apotik. Sudah satu tahun lebih aku hidup dengan jantung Angga. Sejauh ini berdetak baik di dalam tubuhku. Sejak transpalantasi pun, mendekati satu tahun pertama, sifatku agak berubah. Aya bilang seperti Angga, suka bersosialisasi, lebih bersemangat. Ya, memang Angga memberi kehidupan baru untukku. Terkadang aku merindukannya.

"Kamu jadi suka ke kafe itu," ujar Aya memecahkan lamunanku.

"Asik aja duduk di sana sambil baca buku dan minum coklat panas," jawabku memamerkan gigi.

"Bilang aja mau ketemu baristanya," ejek Aya, "bukannya dia kakak kelas Tita di SMA?" Tita adalah teman kuliahku. Kami bertemu di jurusan yang sama. Ketika ke kafe tempo hari, Tita ikut bersamaku, Aya dan satu teman baruku lagi—Mira.

"Iya tapi sepertinya Tita nggak tau banyak tentang lelaki itu."

Kami menyetop taksi lantas melesat pergi ke kafe tempat Regan bekerja. Selama perjalanan, langit sudah mulai mendung. Untunglah ketika kami tiba di kafe, hujan baru turun derasnya.

"Selamat datang!" sapa ramah barista yang tengah berdiri di balik bar dan satu pelayan yang tengah mengantarkan pesan ke salah satu tamu.

Aku melontarkan senyum. "Regan ada?" tanyaku spontan ketika tiba di depan bar.

"Hari ini dia off, Kak," jawabnya seraya me-steam susu untuk dicampurkan ke dalam kopi.

"Oh," jawabku singkat dengan anggukan kepala, "saya mau coklat panas, ya," lanjutku seraya menarik kursi tinggi yang berada di depan bar, diikuti oleh Aya. Aku kembali turun dari kursi lantas mengarah ke rak buku—tempat novel kemarin aku letakkan. Namun ketika kucari novel itu tidak ada. "Dibaca orang mungkin, ya?" lirihku sembari mengelus dagu. Ketika membalikkan badan, mataku menangkap sebuah buku yang tengah dibuka di salah satu meja tak jauh dari tempatku berdiri. Aku kalah cepat. Gumamku. Kukembali ke depan bar lantas duduk di kursi tinggi. Ingin sekali mengajak bicara barista di depanku namun takut mengganggu, jika Regan mungkin akan kuajak bicara.

Aya menyadari lamunanku dengan mata mengikuti gerak gerik barista yang mulai salah tingkah karena kulihati terus-menerus. "Jangan dilihat terus, nanti dia salah buat pesanan orang!" Aya menepuk bahuku lembut dengan tawa gelih yang terdengar lirih.

Aku menoleh ke arah Aya dan menaikkan sebelah alisku lalu ikut tertawa geli dengan sikapku sendiri. Aku mendelik ke jam tangan, sudah pukul tiga sore. "Pulang, yuk!" ajakku kepada Aya.

Aya memutarkan kepalanya ke arah jendela. "Masih hujan, santai dulu, lah!" ucapnya sembari mengambil whipped cream di gelas iced chocolate-nya dengan spoon straw. "Lagian buru-buru banget."

Aku melirik ke arah Aya lalu kembali menghadap depan dan menyeruput coklat panas yang sudah mulai dingin. Tak lama terdengar lonceng kecil yang digantungkan pada pintu kafe berbunyi, mataku menyapu seisi kafe yang sudah mulai penuh. "Sudah mulai penuh. Kita sudah lama di sini," ucapku pada Aya ketika menghadap ke arahnya. Namun mata Aya terbuka lebar. "Kenapa, Ya?" tanyaku heran.

Aya menunjuk ke arah belakangku. "Belakang kamu."

Aku memutar badan, sontak membuatku senang dan terkejut melihat siapa yang baru saja datang. Ia tengah menyimpan tasnya lantas menggunakan apron barista berwarna coklat. "Bukannya off?" tanya rekan kerjanya yang sedari tadi salah tingkah jika kulihat, "bukannya kuliah?" tanyanya lagi.

Coffee Break TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang