EPILOG

930 28 12
                                    

REGAN PRADASHA

ROTTERDAM, MARET 2008

Penghangat ruangan sudah dimatikan sejak sejam lalu. Aku tengah membuat sandwich untukku dan Junior. “Junior, bangun!” teriakku dari dapur yang tak jauh dari kamar. Kami tinggal di apartemen yang tidak terlalu besar di tengah kota Rotterdam.
“Iya, berisik, Abang,” ucap Junior seraya mengusap telinganya. 
“Cepat mandi sana! Nanti telat ujiannya.” Aku menuangkan susu ke dalam gelas Junior.
Ok, I wil,” jawab Junior malas.
Tiba-tiba bel berbunyi. Aku segera membuka pintu, ternyata post man.
There’s a package for you. Please sign here!” Postman menyerahkan paket berbungkus coklat padaku dan memintaku untuk menandatangani surat penerimaan di kertas yang dia sodorkan.
Dank je,” ucapku setelah menyerahkan  kembali surat penerimaan padanya. Postman pun pergi dengan sepedanya. Enam bulan tinggal di sini, belum begitu lancar Dutch. Terkadang masih sedikit takut bicara Dutch. Ya, Dutch sangat sulit untuk lidah Indonesia seperti kita.
Aku menutup pintu lantas membawa kotak itu ke meja makan.
“Paket dari siapa, Bang?” tanya Junior seraya menyuap sandwich ke mulutnya.
“Belum tau.” Aku memutar-mutarkan kotak namun tidak ada nama pengirim di sana.
“Ya, sudah, gue berangkat, Bang.” Junior pamit.
“Nih, syalnya!” Aku melemparkan syal biru dongker yang tertinggal di meja makan, Junior pun menangkapnya dengan tepat lantas dililitkan di lehernya.
Lepas Junior pergi, aku kembali duduk di depan meja makan sembari menyuap sandwich ke mulut. Kuraih gunting yang tak jauh, lantas membuka kotak itu. Aku mengernyitkan dahi. “Buku? Buku apa ini?". Di pojok kanan bawah tertulis nama penulis ‘Maudi Maera’. Melihat nama itu, aku tersenyum. “Akhirnya launching juga,” lirihku. Kubuka buku itu. Sebuah kertas terselip di sana.

--------------------------------------------------------------------------------
Dear Regan,

Hai, apa kabar? Bagaimana Rotterdam? Indah? Banyak bunga Tulip di sana, kan? Kamu sudah lancar Dutch? Ah, aku terlalu banyak tanya. Tapi, bukannya itu yang dilakukan orang ketika sudah lama nggak saling bertemu?
Maaf, aku kirim ini ke alamat kamu soalnya aku nggak tahu nomor telepon kamu. Alamat ini juga aku dapat pakai acara maksa Mas Panca. 

Regan, ini novelku. Di dalamnya tentang momen pertemuan dengan dua pahlawan dalam hidupku, yaitu Angga dan kamu. Di bagian terakhir, aku tambahkan tentang pertemuan kita. Maaf nggak izin dulu. Terima kasih ya atas bantuannya untuk mewujudkan harapanku. Oh ya, novel baru kamu juga sudah terbit tapi nggak ada acara launching, kan penulisnya nggak di sini. Aku suka novel kamu. Selamat ya Repash.
Aku nggak tahu harus bicara apa lagi. Kamu jaga kesehatan di sana. Salam untuk Junior. Bye

Maudi            
--------------------------------------------------------------------------------

Aku tersenyum membaca surat tulisan tangan Maudi. Gadis itu memang berhasil membuatku sering tersenyum jika mengingatnya. Sampai kapanpun aku akan menunggu waktu indah itu tiba. Kuharap, kamu pun sabar menunggu.
Surat itu dilipat kembali dan diselipkan dalam dompet. Novelnya dimasukkan ke dalam tas. Tas kuselempangkan setelah merapihkan meja makan. Pagi ini ada jadwal wawancara narasumber di salah satu redaksi surat kabar.


MAUDI MAERA


JAKARTA, JUNI 2008

Sudah empat puluh lima menit acara ini berlangsung. Pertanyaan demi pertanyaan pembaca lontarkan kepadaku dan Mas Panca. Lexy memang aura positif di acara ini. Cara dia menjadi pembawa acara membuat segar. Hingga tiba di pertanyaan terakhir yang dibuka Lexy.

Coffee Break TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang