Hari sudah Senin kembali. Tubuhku masih lemas setelah pulang dari rumah sakit semalam. Ibu menyuruhku untuk istirahat dulu di rumah, tetapi aku tidak mau sebab sudah seminggu tidak masuk sekolah. Seminggu lalu tubuhku tumbang di sekolah dan dibawa ke rumah sakit oleh pihak sekolah. Kata Ibu, aku koma tiga hari.
"Kamu yakin mau masuk sekolah hari ini, Mao?" tanya Ibu seraya membuka tirai kamarku.
"Iya, Bu" jawabku singkat.
Aku Maudi. Orang terdekat memanggilku dengan panggilan Mao. Aku tinggal bersama Ibu di rumah sederhana tipe 36. Ayah meninggal ketika aku masuk SMA. Ayah adalah seorang reporter berita. Hobi menulis, aku dapatkan dari Ayah. Sejak kecil, aku suka sekali menulis dan bercerita keseharianku di buku diari yang Ayah belikan. Sampai-sampai sudah banyak sekali buku diari yang tersusun di rak buku. Sejak Ayah membelikanku laptop, aku sudah tidak menulis di diari sesering sebelumnya.
Aku bukanlah seperti anak kebanyakan. Sejak kecil dilarang bermain di luar oleh kedua orang tua sebab aku memiliki kelainan jantung, lebih tepatnya gagal jantung. Otot jantungku tidak mampu memompa darah ke seluruh tubuh dengan tekanan yang tepat seperti jantung normal. Aku tidak boleh terlalu kelelahan, terlalu bahagia dan sedih sebab akan membuat detak jantungku tidak beraturan dan mengakibatkan kolaps. Sebenarnya, sudah bosan hidup seperti ini, tetapi mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa memilih untuk dilahirkan normal. Waktu kecil, dokter memperkirakan usiaku hanya sampai tujuh belas tahun saja, tetapi sampai saat ini aku masih bisa bernapas di usia yang sudah melewati beberapa bulan dari angka tujuh belas. Aku tetap bersyukur akan hal itu. Masih bisa bersekolah dan bertemu teman-teman meski tak banyak yang bisa dilakukan.
"Wajahmu masih pucat, Nak." Ibu merapihkan rambutku.
Aku menatap cermin di meja rias. Ya, memang pucat sekali. Aku tidak ingin teman-teman di sekolah tahu tentang penyakitku. Pun tidak mau orang lain mengasihaniku. Kuraih bedak padat yang Ibu belikan kemarin lalu dipoleskan ke wajah yang sudah seperti mayat. 'Kapan aku bisa hidup normal?' Benakku.
"Nanti kamu berangkat bareng Adil, ya, Nak!"
Aku hanya menjawab dengan anggukkan.
Aku mengikuti Ibu keluar dari kamar menuju ruang makan dengan tas sekolah diselempangkan. Sebenarnya, masih sangat lemas tetapi kemauan untuk tetap sekolah lebih besar. Dengan berat hati Ibu mengizinkan dengan syarat berangkat dan pulang bareng Bang Adil, kakak sepupuku.
"Ini minum dulu susunya sambil nunggu Adil!" Ibu memberikan segelas susu putih. Aku suka sekali susu putih. Entahlah, mungkin lidahku sudah terbiasa dengan rasa susu putih. Bagiku, susu putih mampu membangkitkan mood dan menjadikan hari lebih ceria. Selain itu, kita semua tahu bahwa susu mengandung protein yang dibutuhkan tubuh tetapi tetap saja aku belum bisa sembuh. Setidaknya segelas susu mampu memberikan tenaga lebih buatku selama di sekolah.
Ibu tidak pernah memberikanku uang jajan. Setiap hari aku membawa bekal makanan yang ibu siapkan. Menunya bisa berganti-ganti tergantung Ibu mau masak apa. Aku tidak pernah rewel untuk urusan makanan tetapi dengan dalih perhatian dan takut salah makan, Ibu melarangku makan selain masakannya. Ya, aku memahami perhatian Ibu yang begitu besar. Bukan hanya karena sakit, selain itu aku anak tunggal dan ibu tidak punya siapa-siapa lagi selain aku. Selepas Ayah meninggal, ibu semakin protektif padaku. Tidak seperti Ayah yang selalu membebaskan kegiatanku selama bisa jaga diri.
"Bang Adil kok belum datang juga, ya, Bu?" Aku meneguk susu putih sembari menoleh ke arah jendela, siapa tahu Bang Adil menunggu di luar.
"Mungkin masih di jalan kali, sayang," jawab Ibu seraya merapihkan kotak makanan yang akan dibawa.
Tak lama, dari arah teras terdengar suara deru motor yang baru saja dimatikan. "Bang Adil kali itu, ya, Bu?" tanyaku meletakkan gelas berisikan susu yang tinggal seperempat gelas.
"Mungkin," jawab Ibu singkat.
Bang Adil masuk ke dalam rumah lalu mengarah ke ruang makan dan duduk di kursi makan dekatku. Dia menoleh ke arahku dengan tatapan serius.
"Yakin mau sekolah?" tanyanya tanpa basa-basi.
Aku mengangguk.
"Tuh Dil, adikmu nggak mau libur lagi. Maunya masuk sekolah. Nanti kalau kumat lagi gimana?" Ibu menambahkan.
"Ibu apa sih doanya negatif. Aku udah bilang kalau aku baik-baik aja. Aku udah ketinggalan pelajaran, Bu," jawabku memasang muka masygul.
Ibu tidak menjawab, hanya menggeleng mendengar alasanku. Kalau sudah alasan sekolah, ibu memang agak susah untuk melarangnya.
"Mau sarapan dulu, Dil?" tanya Ibu menoleh ke arah Bang Adil.
"Terima kasih, Tante. Tadi aku udah sarapan di rumah."
Ibu mengangguk. "Mama sehat, Dil? Nanti siang Tante mau ke rumah kamu. Ada perlu sama Mama."
"Sehat Tante. Ke rumah aja, Tan. Mama kayaknya nggak ke mana-mana."
Ibu menjawab dengan anggukan sekali. "Habiskan susu kamu, Mao! Nanti kalian telat. Hari ini Adil ada MUSIS, kan?"
"Iya, Tante"
Lepas aku meneguk habis susu yang tersisa, kami berdua pamit kepada Ibu dan berangkat sekolah dengan motor Bang Adil. Di tengah perjalanan, Bang Adil membicarakan suatu hal yang sudah tidak aku pikirkan lagi, bisa dibilang sudah dikubur dalam-dalam.
"Kamu masih suka menulis, Mao?"
"Kenapa gitu, Bang?"
"Jawab aja, Mao."
"Masih, tapi jangan kasih tahu Ibu ya, please! Ibu bakal marah sama aku kalau ketahuan masih suka nulis." Aku sedikit memohon sembari merapatkan kedua telapak tangan.
"Kenapa?" tanya Bang Adil yang sedikit berteriak sebab suara bising kendaraan.
"Menurut Ibu, Ayah meninggal karena menulis. Padahal Ayah meninggal karena perjalanan tugas bukan karena manulis," jawabku di dekat telinga Bang Adil yang terhalang helm−aku tidak bisa bicara keras.
Bang Adil hanya mengangguk mendengar penjelasanku. Entah apa yang ada di pikiran Bang Adil dengan tiba-tiba bertanya hal itu. Bang Adil memang yang paling tahu tentang hobi menulisku selain Ayah. Dulu, Bang Adil selalu menjadi pembaca pertamaku jika Ayah tidak di rumah—pergi meliput ke luar kota. Bang Adil pernah diam-diam mengirim puisiku ke koran harian. Untungnya bukan memakai nama asliku melainkan nama pena yang hanya aku dan Bang Adil yang tahu.
Bang Adil adalah anak Mama Mia−kakaknya Ibu. Dia memiliki seorang adik laki-laki yang masih duduk di sekolah dasar. Bisa dibilang aku adalah adik perempuan satu-satunya sebab ibu hanya dua bersaudara. Dulu Bang Adil tinggal tetanggaan denganku tetapi ketika dia masuk SMA, mereka pindah rumah ke komplek sebelah yang tidak begitu jauh dari rumahku, sekitar sepuluh menit dengan motor. Lepas Ayah meninggal, Mama Mia dan Bang Adil sering menginap di rumahku, sedangkan Papa Rio−Ayahnya Bang Adil sering ke luar kota. Beliau memiliki outlet restoran di beberapa daerah. Jika pulang, P apa menyempatkan ikut menginap di rumahku. Sebenarnya aku tidak begitu merasakan kesepian tetapi penyakit ini yang membuatku terkurung, apalagi Ibu sudah wanti-wanti melarang menulis.
------
Hai readers, mohon maaf baru sempat post part 2 karena ada urusan kemarin. Tenang aja, hari ini saya post dua part sekaligus.
Selamat membaca ^_^
Salam,
Author

KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Break Time
Teen FictionTAMAT Kopi hitam itu pahit. Jika ditambahkan gula, dia tetap hitam dan pahit, tidak mengubah wujudnya. Bagi yang belum merasakan, akan beranggapan semua kopi itu pahit, padahal ada sedikit manis dari gula yang ditambahkan. Kamu hanya perlu mencicipi...