7. MAUDI MAERA

239 19 0
                                    

“Sayang, obatnya jangan lupa diminum lagi! Ingat pesan dokter kemarin!” Ini sudah kesekian kalinya Ibu mengingatkanku. Setelah tiga hari lalu tidak masuk sekolah karena tiba-tiba kolaps sepulang sekolah. Memang semua disebabkan oleh kecerobohanku sendiri. Bisa-bisanya aku lupa menyimpan obat, mungkin juga terjatuh ketika buka tas.  Saat malam, tiba-tiba dada aku sakit dan baru menyadari bahwa obat tidak ada di tas. Malam-malam, Ibu menelepon Bang Adil untuk membawaku ke rumah sakit. Gara-gara kecerobohanku, semua orang jadi repot. Aku hidup hanya menyusahkan orang lain saja. Terkadang pikiran itu sempat menguasai rasa bersalahku.
“Iya, Bu,” jawabku lemas menyisir rambut.
“Hari ini Ibu yang antar. Nanti pulang bareng Adil,” lanjut Ibu seraya membantuku menyisir rambut.
“Dia ada pengayaan, Bu.” Aku melirik ke arah Ibu dari cermin dan Ibu balas menatapku dengan kerutan di keningnya.
“Oh iya, Ibu lupa, dia udah kelas tiga, ya.” Ibu mengikat rambutku ke belakang.
“Ibu, kepang rambutku model French Braid,” pintaku dengan manja.
Ibu tersenyum mendengarnya. Terakhir aku minta di kepang ketika masih SD dan itupun ala-ala fishtail, karena itu rambutku agak ikal bagian bawahnya. Menginjak usia putih biru, tak pernah sempat untuk mengepang rambut apalagi setelah Ayah tiada. Kepergian Ayah memang merubah segalanya. “Kamu masih ingat aja, Nak,” gurau Ibu seraya merapihkan rambutku untuk di kepang.
“Masih, lah, Bu.” Ibu mulai mengepang rambutku dari sisi kanan ke kiri dan berujung di depan bahu kananku.
“Ya ampun sayang, cantik sekali kamu, Nak.” Ibu memegang kedua bahuku lembut seraya menatapku dari cermin.
Aku tersenyum seolah mengatakan ‘seperti Ibu’. “Terima kasih, Ibu.”
“Ya udah, kita sarapan dulu, setelah itu kita berangkat,” ajak Ibu seraya keluar kamar lebih dulu. Aku meraih tas lantas menutup pintu kamar.
Di meja makan, sudah ada segelas susu putih dan roti yang sudah diolesi selai. Usai sarapan, aku berangkat diantar Ibu. Di perjalanan, seperti biasa aku tak banyak bicara. Aku keluarkan buku diari dan pulpen, mulai menulis setelah beberapa hari tak menulis. Lagi-lagi Ibu memicingkan mata ke arahku dan menunjukkan wajah tak suka jika aku menulis. Namun aku hiraukan picingan itu, paling Ibu memberhentikan mobilnya lantas memarahiku. Hingga tiba di depan gerbang sekolah, tak ada sepatah katapun Ibu memarahiku. Aku berkerut heran lantas menoleh ke arah Ibu yang tengah menatap lurus ke depan, memerhatikan lalu lalang siswa yang baru saja tiba. “Ibu kenapa?” Ibu tidak juga menoleh ke arahku, tetap menatap ke depan, “Ibu!” Aku menepuk pelan lengan Ibu.
“Waktu kamu mulai sekolah, Ibu selalu mengantar kamu ke sekolah pakai sepeda. Sekarang Ibu nggak kuat lagi kayuh sepeda sambil boncengi kamu, Mao. Kamu udah besar.” Ibu menghentikan ucapannya namun masih menatap lurus. Aku menoleh ke depan, ada seorang ibu tengah mengayuh sepeda dan memboncengi anaknya yang masih mengenakan seragam merah putih. “Sekarang kamu udah punya harapan dan tujuan hidup. Nggak pernah Ibu dan Ayah mengarahkanmu untuk menjadi apa. Bagi kami, kamu sehat dan bahagia, itu udah lebih dari cukup,” Ibu mengusap matanya, “udah kamu turun sana, nanti telat!” lanjutnya seraya menepuk pahaku.
Aku tak banyak tanya kenapa Ibu bersikap aneh. Aku melirik jam tangan di pergelangan sudah menunjukkan hampir pukul tujuh. Kuraih tangan Ibu dan pamit. Setelah menutup pintu mobil, aku melihat Ibu masih mengusap matanya. Ada apa dengan Ibu? Apa aku sudah berbuat salah? Benakku. Hingga Ibu melajukan mobil, tak menoleh ke arahku dan melambaikan tangan seperti biasanya. Ini benar-benar aneh. Aku masih mematung hingga mobil Ibu tak terlihat.
“Hai, Maudi!” Seseorang  menyapaku dari jauh.
Aku menoleh ke arah datangnya suara, ternyata Angga baru saja turun dari motor dengan seorang lelaki yang mengenakan helm. Dari perawakannya, masih muda, kisaran dua atau tiga tahun di atasku. Lelaki itu mengangguk ke arahku lantas melajukan kembali motornya. Aku masih melihat lelaki itu hingga melesat dari pandanganku.
“Itu Bang Agra, kakakku,”ucap Angga menjelaskan tanpa kubertanya.
Aku hanya menyunggingkan senyuman lantas melangkah masuk ke dalam sekolah, diikuti olehnya.
“Kamu apa kabar, Maudi?” tanya Angga berjalan beriringan di sampingku.
“Seperti yang kamu lihat sekarang,” jawabku santai dengan senyuman.
“Tapi, bukannya kamu kemarin sakit?” tanyanya lagi.
Aku menoleh ke arahnya, terlihat raut khawatir dari wajahnya. Aku menghentikan langkah lantas menghadap ke arahnya. “Aku cuma istirahat aja, Ga. Siapa bilang aku sakit?”
Lelaki itu tidak menjawab. Dia hanya menatapku lekat. Tiba-tiba tanganku telah digenggam olehnya. “Maudi, aku mohon kalau ada masalah, ceritakan padaku. Aku akan selalu ada untuk kamu,” ucap lelaki itu dengan tatapan semakin lekat.
Jantungku terasa berdegup cepat. Rasanya sesak sekali. Semakin dia menatapku seperti itu, semakin sesak tetapi aku menyukai tatapan itu. Aku jawab dengan senyuman lantas melepaskan genggamannya. “Ayo masuk!” ajakku. Lelaki itu masih mematung di belakang menatapku pergi. Ingin aku berhenti dan membalikkan badan namun dadaku akan semakin sesak. Aku lanjutkan langkah menuju kelas. “Maafin aku, Angga,” gumamku.
Di sela jam istirahat, aku menyempatkan diri ke ruang mading. Ada yang aneh, biasanya Angga datang ke kelasku dan mengajakku ke ruang OSIS tetapi ini tidak. ‘Apa dia marah gara-gara tadi pagi?’ Aku menggelengkan kepala, membuyarkan pikiran buruk.
Aku melangkah keluar kelas. Dari kejauhan, terlihat sosok Angga tengah membicarakan sesuatu dengan seorang perempuan. Siapa dia? Kenapa aku tidak suka melihatnya? Aku menghentikan langkah. Dada ini kembali sakit. Tidak, aku tidak mau mati sekarang. Benakku. Sepertinya Angga merasa dilihat oleh seseorang. Dia menoleh ke arahku dan mata kami beradu. Aku salah tingkah dan segera melanjutkan langkah menuju ruang mading. Apa dia mengejarku? Ingin menoleh ke belakang tetapi egoku masih tinggi.
Di ruang OSIS, aku melihat lelaki itu tengah sibuk dengan pekerjaannya. Aku melintas tepat di sampingnya namun dihiraukan olehnya. Entahlah, rasanya kecewa diperlakukan seperti ini. Memang, aku yang memulai untuk bersikap dingin tetapi itu aku lakukan biar tidak dianggap lemah olehnya.
“Maudi!” panggil Mega dari ruang redaksi.
Aku masih berdiri di samping Angga dan menoleh ke arah Mega. Aku melihat lambaian tangan Mega menyuruhku mendekatinya. “Ada apa Mega?” tanyaku.
“Ini lihat! Bagus sekali karyanya.” Mega menyodorkan dua lembar kertas berisikan puisi.
Aku baca puisi itu. Memang, sangat bagus. Pas dengan situasiku saat ini. “Siapa penulisnya?” tanyaku.
“Nggak tau nama aslinya tapi ada nama pena, tuh,” jawab Mega seraya menunjuk pojok kiri bawah kertas itu.
“Repash?” lirihku ketika melihat nama pena itu. Nama yang unik. Karya sebagus ini kenapa harus disembunyikan? Aku menarik kursi lantas duduk di situ seraya membaca puisinya.

..........

Malam
Kelam menyelimuti jiwa
Meringkuk kesal dalam kesunyian
Aku lelah

Malam
Beritahu pada bintang tentang mauku
Temaniku dengan sinarnya
Buaiku dengan senyumannya
Peluk aku dengan rembulan

Andaikan waktu mampu berputar
‘Kan ku kembalikan kesal pada semesta
Hiasi kenangan dengan tawa
Aku rindu senyumanku sendiri

REPASH

---------

Gimana ceritanya sampai saat ini? Seru, biasa aja atau bikin gemas?
Ada puisi, nih. Iya, biar makin berasa nyastranya, saya selipkan puisi. Soalnya, ceritanya kan anak mading. Hehehe

Selamat membaca.

Salam,

Author


Coffee Break TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang