12. REGAN PRADASHA

272 16 0
                                    

SEPTEMBER 2006

Aku berbaring di atas kasur empuk dengan bed cover bergaris merah hitam dan baru saja memasuki usia dua puluh tahun—dua hari lalu. Aku menatap langit-langit kamar dengan warna putih dengan kedua tangan di lipat ke belakang kepala, melamun. Jiwaku tak di sini. Sudah hampir seharian aku berada di dalam kamar dan hampir satu jam melamun di atas kasur. Aku Regan Pradasha, namanya.

Sudah memasuki satu tahun, suasana rumahku seperti neraka. Kedua orang tuaku bercerai setahun yang lalu dan kini aku tinggal bersama papi dan Junior—adikku. Namun hubungan kami tak begitu dekat. Mami memilih pergi bersama dengan lelaki lain yang tak lain patner kerja di kantornya.

Sejak hubungan kedua orang tuaku retak dan sering bertengkar, bukan hanya berdampak pada hidupku, hidup Junior pun. Junior memilih mencari kesenangan di luar rumah dengan mengenal barang-barang haram dari pergaulan yang salah. Bahkan Junior pun mudah mempermainkan wanita. Rumah type 40 terasa seperti kuburan. Junior jarang pulang ke rumah. Sekalinya pulang dalam keadaan mabuk dan diantar oleh beberapa kawannya dengan muka babak belur. Tahun lalu dia hampir saja overdosis, untung masih dikasih kesempatan sama Tuhan. Sedangkan papi selalu pulang malam dengan mulut bau alkohol. Aku menjadi menutup diri dari lingkungan dan lebih suka menghabiskan waktu diam di kamar berkawan dengan laptop, MP3, beberapa buku, serta gitar. Keluar rumah jika pergi kuliah dan kerja paruh waktu di sebuah kafe perpustakaan, selain itu langsung pulang ke rumah. Terkadang ngobrol dengan Bi Asih, asisten rumah tangga yang sudah ikut dengan keluargaku sejak aku lahir. Bisa dibilang aku didikan Bi Asih sebab dulu kedua orang tuaku sibuk dengan pekerjaan dan selalu pulang larut malam, saat aku sudah tidur pulas serta pergi pagi-pagi sekali saat aku masih tertidur pulas.

Ketika tengah melamun, tiba-tiba ponsel berdering sekali. Sebuah e-mail dari editor masuk, menerangkan naskah novelku diterima penerbit. Bahagia? Tidak. Usai membaca e-mail dari editor, aku hempaskan ponsel ke samping, tak peduli.

Aku memang menyukai sekali menulis. Sejak masih duduk di bangku SMA, sudah menyukai dunia sastra. Dahulu, sempat dikenali oleh seorang perempuan bernama Maura. Namun, pertemananku berakhir tidak menyenangkan. Maura meninggal ketika pulang dari perpustakaan bersamaku. Bus kota yang Maura tumpangi mengalami kecelakaan. Terdapat beberapa korban tewas, termasuk Maura di dalamnya. Aku merasa down ketika mendengar berita tentang Maura. Bagaimana tidak, saat itu aku sudah mulai jatuh cinta padanya, bahkan berencana akan mengatakan perasaan esok hari. Bukanlah pengakuan yang aku lakukan melainkan meratapi kehilangan gadis yang sangat kusayangi dan cintai. Kami sempat berencana untuk membuat naskah duet, mengisahkan kisah kami berdua yang sama-sama menyukai dunia literasi. Sayang sekali, harapan itu harus dikubur dalam-dalam hingga aku bangkit kembali selang satu tahun setelahnya. Aku mencoba menulis kembali hingga sekarang sudah menghasilkan beberapa novel dan cerpen. Cerpenku kerap dimuat di beberapa surat kabar nasional dan regional, namun bukan pakai nama asli melainkan nama pena. Aku sering menulis dengan gendre misteri, horror dan pembunuhan. Naskah terakhirku mengisahkan remaja-remaja yang masuk dalam jurang narkoba seperti kisah adikku sendiri.

Tok! Tok! Tok!

Suara pintu kamar diketuk berulang kali dengan ritme cepat dari balik pintu. Menyadarkanku dari lamunan. Aku segera bangkit dari posisi ternyaman dan melangkah gontai mendekati pintu. "Ada apa, Bi?" tanyaku dengan kening dikerutkan melihat wajah pucat Bi Asih.

"Den Regan, tadi bibi terima telepon dari kepolisian ..."

"Lalu?" tanyaku semakin tak mengerti.

"Den Junior, Den," jawab bibi gemetar.

"Kenapa lagi itu anak? Menyusahkan aja!" ucapku kesal.

"Bibi juga nggak tau."

Aku diam sejenak seraya memijit kening yang tiba-tiba pusing.

Coffee Break TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang