JANUARI 2005
Semakin hari, aku semakin terbiasa berada di dekat Maudi. Bagiku, senyumannya seperti doping semangat. Aku membantunya membangun mading, dari menghias mading, ruang mading—berada di dalam ruang OSIS, hingga menemaninya ke loakan buku untuk mencari bahan mading. Kami pun sering pulang dan jalan bareng, tetapi sudah tiga bulan terakhir kami jarang bertemu sebab waktuku dihabiskan dengan latihan paskibra—menjelang LKBB Tingkat Kota. Terkadang kami berpapasan depan kelas namun sekedar saling melempar senyum. Dia sering mengirimku pesan dan meneleponku, namun terkadang tak sempat kubalas dan tidak terangkat teleponnya. Semoga dia tidak marah.
Lepas LKBB, aku kembali fokus dengan OSIS, acara PENSI dan Malam Sastra yang tersisa dua bulan lagi. Rapat pun mulai digalakkan untuk seluruh panitia. Aku kembali bertemu dengan Maudi. Tubuhnya semakin kurus dan wajahnya semakin pucat.
“Hai Angga!” sapanya dari pintu ruang OSIS. Dia tidak datang sendiri, di sampingnya berdiri Bang Adil.
“Hai, Maudi! Apa kabar?” sapaku balik.
“Aku baik. Mading udah ramai, loh, pengujungnya dan semakin banyak karya yang masuk. Aku seperti punya nyawa lagi,” jawabnya riang.
Mataku beralih ke Bang Adil yang tersenyum melihat keakraban kami. “Hai, Bang! Long time no see. Ada yang bisa dibantu?”
“Oh ini Ga, buku tahunan udah datang?” tanya Bang Adil seraya mendekatiku.
“Hari ini rencana mau diambil, Bang. Kemungkinan siang.”
“Sip. Nanti siang aku ke sini lagi,” ucap Bang Adil seraya keluar dari ruangan.
Maudi masih menatapku lekat—berdiri di depan pintu. Suasana ruang OSIS ramai hilir mudik anggota. Perempuan itu masih menatapku seraya tersenyum. Aku sudah lama tidak melihat senyuman itu. Jujur, aku rindu padanya. Setiap malam—sebelum tidur, aku memikirkannya. Apa kabar dengannya? Apakah dia merindukanku juga?
Perempuan itu mendekat dan kini berdiri beberapa sentimeter saja di hadapanku. “Kenapa nggak balas pesanku? Teleponku juga nggak kamu angkat.” Maudi sedikit berbisik.
“Astaga, aku lupa, Maudi. Tiga bulan ke belakang aku benar-benar sibuk persiapan lomba. Aku tau pesan dan teleponmu bahkan berniat balas dan telepon balik tapi sampai di rumah, badan capek. Aku ketiduran dan lupa balas pesanmu. Maaf, ya!” jawabku dengan tatapan nanar seraya merapatkan kedua telapak tangan.
Dia tersenyum lagi. “Nggak apa-apa, Angga. Aku mengerti,” ucapnya seraya menepuk bahuku, “kamu rindu aku, nggak?” bisiknya.
Pertanyaannya membuat aku terkejut. Apakah telingaku masih sehat? Pertanyaan itu serasa halilintar di siang bolong.
“Angga, kenapa diam? Jawab dong!” Suaranya memecahkan lamunanku.
“Kenapa?” tanyaku berpura-pura tidak mendengar.
Perempuan itu memutarkan bola matanya. “Kamu rindu aku, nggak?”
Aku diam sejenak. Tiba-tiba lidah terasa kelu. “I … ya,” jawabku terbata-bata.
“Iya apa?”
Aku mendekatkan kepala ke arah telinga kirinya. “Aku rindu kamu,” jawabku lirih lalu menarik kembali kepalaku, “kamu?” tanyaku balik.
Perempuan itu menjawab dengan anggukan.
Entah kenapa rasanya aku terbang ke angkasa dan menari-nari di kerajaan awan. Anggukan itu seperti angin sejuk beraroma wangi yang memasuki rongga penciumanku. Aku bahagia sekali. Lelahku selama lomba hilang seketika.
“Angga? Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?” lagi-lagi suaranya membuyarkan lamunanku.
Aku menggeleng. “Nggak apa-apa. Oh ya, gimana dengan Malam Sastra?” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Hari ini rencana mau menempelkan famplet di mading dan membagikannya ke seluruh kelas. Kamu mau bantu aku, kan?”
“Pasti.”
Di sisa waktu dua bulan ini aku selalu bersamanya baik di sekolah ataupun pulang sekolah. Setiap jam istirahat, kami ke kantin bersama meskipun gabung dengan teman-teman lain. Maudi selalu membawa bekal bahkan tidak pernah jajan di sekolah.
Hingga tiba di hari itu, di mana aku tidak melihatnya selama tiga hari berturut-turut. Aku mencari ke kelasnya namun kabar dari Aya—redaksi mading dan teman sebangkunya bahwa Maudi sakit selama tiga hari itu. ‘Sakit apa? Sampai tiga hari? Parahkah? Kenapa dia tidak mengabariku? Apakah Bang Adil tahu?’ Terlalu banyak pertanyaan dalam pikiranku.
Aku segera berlari menuju kelas Bang Adil. Tanpa permisi, aku menghampiri ke kursinya. “Bang!” sapaku mengejutkannya.
“Eh Angga. Ada apa, Ga? Sampai datang ke kelas,” tanyanya heran.
“Bang Adil tau nggak kalau Maudi sakit?” tanyaku tanpa basa-basi.
Bang Adil terdiam mendengar pertanyaanku. “Aku nggak tau. Sakit apa dia?”
“Itu dia, Bang. Kata Aya, dia nggak masuk tiga hari dan aku nggak dikabari,” jawabku kesal.
“Mungkin dia fokus istirahat, Ga. Positif aja!”
“Iya sih Bang, tapi kenapa dia nggak kabari aku? Sedangkan waktu tiga bulan aku sibuk latihan, dia selalu kirim pesan.”
“Berdoa aja agar dia lekas sembuh dan bisa masuk sekolah lagi. Malam Sastra, kan, sebentar lagi. Tenang Ga, Maudi itu tipikal orang bertanggung jawab. Trust me!” Bang Adil mencoba menenangkanku.
Aku mengangguk lantas keluar dari kelas Bang Adil, kembali ke kelasku. Seharian itu, tidak bisa fokus setiap mengerjakan apapun. Gamang. Khawatir. Aku mencoba menghubungi dan kirim pesan, namun tidak ada balasan dan tidak diangkat.
Sepulang sekolah, ponselku berbunyi. Ketika lihat nama yang tertera di layar, segera aku angkat. “Maudi, kamu ke mana aja? Sakit apa?” tanyaku ketika telepon tersambung.
“Wait Angga, pertanyaannya satu-satu! I'm oke. Just little tired, butuh istirahat aja kali, ya. Beberapa hari ke belakang terlalu diporsir. So, don't worry!” jawabnya dari balik telepon dengan nada riang, “besok aku udah masuk. Aku telepon biar kamu nggak khawatir,” lanjutnya.
“Syukurlah kalau kamu udah membaik. Jaga kesehatan, Maudi! Cepat kembali ke sekolah.”
“Siap, Komandan! Udah dulu, ya. Bye,” perempuan itu menutup sambungan teleponnya.
-----
“Pasien Ayah kasihan, deh, Bunda,” ucapan Ayah memecahkan kesunyian di meja makan.
Sedangkan pikiranku masih tertuju pada Maudi. Tiga hari tidak bertemu dengannya tanpa kabar, sungguh menyiksaku.
“Kenapa memangnya, Yah?” tanya Bunda penasaran seraya menuangkan air putih ke gelas Ayah.
“Belum dapat pendonor.”
“Bukannya waktu itu Ayah bilang udah dapat?” tanya Bunda lagi.
“Iya tapi untuk orang lain. Pasien Ayah mohon untuk berikan jantung itu kepada seorang anak yang hampir sekarat. Mereka sering bertemu di rumah sakit,” jelas Ayah.
“Mulyanya gadis itu,” Bunda menahan air mata saking terharunya, “semoga dia mendapatkan donor segera agar kembali sehat.”
Aku dan Bang Agra beberapa kali mendengar Ayah dan Bunda membicarakan pasien itu tetapi tidak pernah ikut dalam pembicaraan itu. Kami rasa, bukanlah ruang lingkup kami untuk mengetahui lebih jauh. Bunda seorang guru Bimbingan Konseling di SMA Pertiwi−SMA-nya Bang Agra jadi terkadang dimintai tolong oleh Ayah untuk menenangkan pasien itu ketika depresi.
Usai makan malam, aku duduk di balkon depan kamar. Menengadahkan kepala menatap langit kelam. Maudi, perempuan itu selalu bersarang di dalam otakku. Aku sudah terhipnotis oleh cinta.
“Kenapa kamu, Ga?” Bang Agra tiba-tiba muncul dari belakang.
“Eh, Bang. Nggak apa-apa, Bang.”
“Lagi gamang, ya?” tanyanya lagi seraya duduk di sampingku.
Aku terdiam sejenak. Agak ragu untuk cerita persoal cinta kepada Bang Agra, pasti nanti diejeknya.
“Lagi jatuh cinta, ya?” tanyanya mengejutkanku.
‘Bang Agra bisa baca pikiranku?’ Benakku. Aku jawab dengan senyuman. Sepertinya, Bang Agra tahu maksud dari senyumanku.
“Ga, kalau kamu benar-benar mencintainya, ungkapkan! Jangan ditunda!”
“Tapi Bang ...” perkataanku dipotong Bang Agra.
“Ga, kamu laki-laki, kan?”
“Iya, Bang.”
“Nggak ada kata tapi dan nanti. Do it! Jangan sampai nanti kamu menyesal ketika udah kehilangan seseorang yang dicintai,” jelas Bang Agra serius.
Aku menoleh ke arah Bang Agra. Baru kali ini bicara dengannya persoal cinta. Sepertinya, Bang Agra pernah mengalami patah hati. Sempat hening sekejap antara kami. Aku sibuk dengan pikiranku tentang Maudi sedangkan Bang Agra seperti memikirkan sesuatu.
“Ya udah Ga, Abang ke kamar dulu.” Bang Agra beranjak lantas keluar dari kamarku. Kini aku kembali sendiri ditemani malam kelam tanpa bintang dan rembulan, seperti suasana hatiku−mendung. “Maudi, kamu sakit apa? Kenapa firasatku nggak enak? Seperti terjadi sesuatu dengan kamu. Ah, semoga firasatku aja,” lirihku.------
Duh maaf sekali lagi telat post. Semalam sampai rumah malam dan ngantuk . Hehehe. Maklum musim liburan jadi banyak acara. HHaha sok sibuk, ya.Silakan dinikmati part enamnya. Kira kira, Angga tau
nggak, ya, penyakit Maudi?Salam,
Author
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Break Time
Teen FictionTAMAT Kopi hitam itu pahit. Jika ditambahkan gula, dia tetap hitam dan pahit, tidak mengubah wujudnya. Bagi yang belum merasakan, akan beranggapan semua kopi itu pahit, padahal ada sedikit manis dari gula yang ditambahkan. Kamu hanya perlu mencicipi...