22.2. MAUDI MAERA

199 16 0
                                    

Aku melihat kepergian Regan begitu saja sebelum ucapanku selesai. Dia pergi terburu-buru. Hati ini rasanya sakit. Ketika sudah di pintu keluar, tiba-tiba tertahan, rasanya itu menyebalkan. Aku menghela napas berkali-kali—melonggarkan ruang dada lantas menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Ingin menangis sekencang mungkin.
Aku merasakan belaian lembut di kepalaku. Kuangkat wajahku lantas menoleh. Kuharap Regan kembali dan membelai kepalaku, namun nyatanya Bang Agra. “Sabar, ya! Kita tunggu dia pulang,” ucapnya menenangkanku.
Aku tidak menjawab. Rasanya semua ini sia-sia. Aku keluar dari kafe begitu saja. Bang Agra berkali-kali memanggil namaku namun kuhiraukan begitu saja. Aku malu. Sikap Regan yang pergi meninggalkanku begitu saja membuatku malu dengan diri sendiri. Semudah itu caraku untuk mendapatkan cinta sedangkan lelaki itu pun tidak peduli.
“Maudi, kamu mau ke mana?” tanya Bang Agra saat menangkap lenganku.
Aku tak menjawab. Aku tak tahan ingin menangis.
“Kalau nangis busa buat kamu lega, nangis aja! Aku di sini dan akan terus di sini.” Bang Agra menarik tubuhku dan kini berada di dekapannya. Tangannya terus membelai kepalaku. “Abang tau kamu malu dan sakit hati dengan sikap Regan tadi. Kamu tau sendiri Regan seperti apa. Kalian nyaris nggak pernah bicara santai, selalu aja ada yang diributkan.” Ucapan Bang Agra membuka kembali kenanganku bersamanya saat di Anyer. Kali itu aku melihat tawa lepasnya. Semakin aku mengingatnya, hatiku semakin sakit.
“Aku mau pulang,” ucapku dengan suara parau.
“Oke, kita pulang. Jangan nangis lagi, ya!” Bang Agra melepaskan pelukannya lantas menyeka air mataku. Baru kali ini aku merasa nyaman berada di dekatnya, seperti Angga yang tengah menyeka air mataku.
Bang Agra merangkul bahuku dan mengajakku kembali ke mobil. “Oh ya, Bunda hari ini buat kue coklat. Kamu mau coba?” tanya Bang Agra seraya memasang seatbelt.
Aku menggeleng. “Abang udah bilang Bunda dan Dokter Agam tentang hubungan kita?” tanyaku mengabaikan ajakan Bang Agra.
Lelaki itu tersenyum. “Udah.”
“Lalu? Tanggapannya?”
“Ya … mereka tanya alasannya. Tapi pada dasarnya mereka nggak pernah memaksa. Apapun keputusanku, mereka percaya.” Bang Agra kembali tersenyum padanya. Lelaki ini ternyata dewasa juga.
“Maaf, ya, Bang,” ucapku dengan tatapan nanar.
“Nggak ada yang perlu dimaafkan, Maudi, karena nggak ada yang salah,” sanggahnya seraya melajukan mobil.
Aku tersenyum.
“Maudi,” panggil Bang Agra.
“Iya, Bang.” Aku menoleh ke arahnya.
“Kamu nggak pernah ke makam Angga. Kamu nggak mau ke sana?” Pertanyaan Bang Agra membuatku terdiam. Memang sejak operasi itu, aku belum ke makamnya.
“Iya, Bang belum. Aku juga belum tentu kuat ke sana. Rasanya belum siap melihat orang yang pernah kucintai kini berada di balik tanah.” Aku menunduk.
“Pernah kucintai? Pernah? Berarti sekarang udah nggak, ya?” Lelaki itu menyeringai.
“Bukan itu maksudnya, Bang,” sanggahku, “Angga nggak akan pernah tergantikan dalam hidupku cause he's still my hero. But life must go on, right? Aku nggak mungkin ratapu kehilangan terus menerus,” lanjutku.
“Iya, deh, yang lagi falling in love,” ejek Bang Agra membuat suasana hening menjadi mencair.
“Apa, sih, Bang. Mulai iseng.” Aku memukul pelan lengannya.
“Nanti kalau kamu udah jadi penulis terkenal, aku jadi manager kamu, ya, biar seperti artis-artis kebanyakan.” Lelaki itu terus mengejekku.
“Amin. Semoga, ya, Bang. Sangat diharuskan malahan. Lumayan, ada tenaga potter,” ejekku balik.
“Enak aja potter. Tapi kalau jadi potter bisa buat kamu suka sama aku, ya, nggak masalah juga.”
“Apa, sih, Bang!”
Malam itu kami saling ejek-mengejek. Hubungan kami sudah mulai mencair. Mungkin dengan seperti ini, kami akan terus bersama meskipun tidak saling jatuh cinta. Bagiku, Bang Agra terlalu baik dan aku tidak ingin kehilangannya sampai kapanpun meskipun suatu hari nanti aku menikah dengan lelaki lain. Angga dan Agra selalu di hatiku.
Setibanya di rumah Bang Agra, kami disambut hangat oleh Bunda Ane. Aku diajak makan kue buatannya yang tak diragukan lagi.
“Maudi, kata Agra, kamu nulis novel, ya?” tanya Bunda seraya memoles coklat di atas kue yang baru dikeluarkan dari oven.
Aku mendelik ke arah Bang Agra yang tengah mengambil air minum di dispenser. “Iya, Bunda,” jawabku malu.
“Novel apa, Nak?” tanya Bunda lagi dengan mengangkat alis.
“Ah novel anak muda, Bunda.”
Bang Agra menghampiriku dan Bunda Ane. “Pokoknya bagus, Bunda. Bunda pasti suka.” Lelaki itu memang pintar membuatku tersanjung.
“Sukses, ya, Nak!” Bunda Ane menyodorkan potongan kue yang baru saja dipoles coklat, “ini untuk novelmu. Semoga bisa buat kamu lebih semangat meraih cita-cita dan buat Ibumu bangga. Tentunya, Bunda pasti bangga juga,” lanjutnya.
Mendengar kata-kata Bunda Ane, membuatku berpikir, mana bisa aku mengecewakan keluarga ini. Aku akan raih harapan yang sudah Angga titipkan. Mungkin dengan ini aku membalas budi, membuat mereka bangga.
Bang Agra mengacak rambutku seraya tersenyum hangat disertai tawa geli dari Bunda Ane. Keluarga ini sungguh hangat. Anak yang hebat dari orang tua yang luar biasa. Bunda Ane dan Dokter Agam berhasil membuat kedua anaknya menjadi lelaki yang bijaksana. Aku beruntung bisa menjadi bagian keluarga ini, meskipun karena keadaan. Angga, terima kasih.

------

Terima kasih sudah membaca part 22 bagian 2.

Salam,

Author

Coffee Break TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang