5. MAUDI MAERA

291 24 0
                                    

Aku melangkah menuju pintu gerbang sekolah. Tidak naik bus hari ini melainkan dijemput Ibu dengan mobil sedan tua peninggalan Ayah. Aku membuka pintu mobil dan duduk di bangku depan samping Ibu. “Hari ini kamu jadwal kamu check up. Minggu lalu kamu kenapa nggak ke rumah sakit?” Ibu melajukan mobil.
“Aku, kan, udah bilang, mau gimana juga, aku akan bakal mati, Bu. Jadi untuk apa aku check up rutin kalau hidupku bergantung dengan donor jantung.” Aku bicara parau menahan sesak dan lelah.
“Mao!!!” Ibu sontak menghentikan mobil di tepi jalan, “kamu nggak boleh bicara seperti itu, Nak! Kamu akan sembuh! Kamu akan dapat donor jantung! Dokter akan berusaha mencarinya. Percayalah, Nak.” Ibu menggenggam tanganku untuk menenangkan.
Aku menunduk. Setengah wajahku tertutup rambut yang tergerai.
Ibu kembali melajukan mobil ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, ritual check up kulalui dengan setengah hati. Aku sudah kehilangan semangat hidup. Sejak dahulu kehidupanku benar-benar diatur oleh Ibu, hanya Ayah yang mendukung semua keinginanku.
Usai menjalani pemeriksaan, kami pulang ke rumah. Selama perjalanan, aku hanya diam dan asik dengan buku diari—menceritakan semua aktivitas di sekolah tadi. Angga, lelaki itu sangat sopan dan baik. Kalau dilihat lama, wajahnya manis juga. Teringat beberapa hari lalu, seperti penasaran dengan kehidupanku di luar sekolah. ‘Kenapa dia sebegitu ingin tahunya, ya? Apa aku harus memberitahu kepadanya tentang hidupku? Aku rasa tak perlu sebab urusanku dengannya hanya sebatas mading saja,’ benakku.
“Kamu masih aja menulis, Mao?” Pertanyaan Ibu sontak mengejutkanku.
Aku tak menjawab pertanyaan Ibu. Aku terus saja menulis.
“Mao! Mao! Ibu tanya kamu.”
Aku menoleh seketika ke arah Ibu lalu kembali asik dengan diariku.
“Mao, kamu kenapa diam aja, Nak? Kamu marah sama Ibu?”
Aku menggeleng.
“Lalu kenapa, Nak? Kenapa kamu diam saja dari tadi dan sibuk dengan diari.”
“Aku lagi malas bicara, Bu,” jawabku singkat.
Setelah itu Ibu tidak lagi bicara padaku. Sepanjang perjalanan, kami saling diam. Entah kenapa, aku menjadi tempramen seperti ini. Sejak Ayah meninggalkan kami, aku berubah menjadi orang yang mudah putus asa, mudah kesal dan tertutup.
Sesampainya di rumah, aku keluar mobil dan melangkah duluan masuk ke dalam kamar. Ibu melihatku dari belakang dengan kening berkerut. Aku tahu tidak boleh seperti itu ke Ibu tetapi aku sendiri tidak tahu kenapa seperti ini. Penyakit ini yang membuat aku berubah, apalagi Ayah sudah tidak ada. Aku tidak memiliki tempat untuk bercerita. Tidak mungkin aku bercerita kepada Ibu tentang keseharian di sekolah dan perasaanku. Ibu sudah cukup bekerja keras untuk pengobatanku. Selepas Ayah meninggal, kami hidup dengan uang asuransi Ayah yang sudah mulai menipis. Ibu mulai bekerja dengan membuat toko kue dari sisa uang asuransi Ayah. Menurut Ibu, tidak mungkin bekerja di kantoran sebab aku tidak bisa ditinggal. Padahal aku sudah besar dan bisa jaga diri sendiri.
Aku merebahkan tubuh ke atas kasur. Rasanya, hari ini lelah sekali. Degup jantungku terasa cepat. Rasanya sakit, sulit bernapas. Segera aku meraih tas dan mengeluarkan botol obat lalu meneguknya dengan air di botol minum yang selalu kubawa ke sekolah. Rasa sakit mulai mereda. Aku kembali merebahkan tubuh. Pikiranku melayang kembali ke kejadian di sekolah. Senang sekali bisa mendapatkan wadah untuk menulis. “Mading,” gumamku. Tak terasa aku menyunggingkan senyuman. Entahlah, baru kali ini aku merasa bahagia sekali setelah selama ini kehilangan semangat hidup. Aku merasa hidup kembali. “Selama masih bernapas, aku masih bisa menulis dan berimajinasi.” Aku merentangkan kedua tangan ke samping dan mata menatap lurus ke langit-langit kamar.
“Mao, makan dulu, yuk, Sayang!” Terdengar suara Ibu dari balik pintu kamarku.
“Iya, Bu.” Aku bangkit dari kasur ke luar kamar.
Kami duduk berhadapan di meja makan. Rumah ini terasa sepi sejak Ayah tidak ada. Setiap hari makan hanya berdua tanpa canda tawa Ayah. Ibu memberikan sepiring nasi dengan beberapa sayur padaku.
“Bu, aku ikut organisasi di sekolah. Angga mengajakku.” Aku memberanikan diri untuk bercerita.
Ibu berhenti makan dan mentapku tajam. “Mao, Ibu udah bilang, kamu nggak boleh ikut organisasi. Kamu nggak bisa kelelahan, Nak.”
“Tapi Ibu, aku jadi Ketua mading di sekolah nggak menguras tenaga. Sekarang aku punya wadah untuk menulis,” jawabku dengan wajah penuh harapan, “dengan seperti ini aku merasa lebih semangat untuk sekolah,” lanjutku.
“Pokoknya Ibu bilang nggak boleh!” Nada bicara Ibu terdengar kesal.
Seketika nafsu makanku hilang. Aku tidak suka dikekang seperti ini. Apa salah kalau aku suka menulis? Menulis tidak menggunakan fisik, bukan? Aku beranjak dari kursi dan melangkah pergi ke kamar, tetapi langkahku terhenti dan kembali berbalik menatap Ibu yang masih duduk di meja makan dengan wajah cemas. Aku tahu wajah itu karena mengkhawatirkan keadaanku. “Ibu nggak usah khawatir. Aku cuma ingin melakukan apa yang membuatku bahagia sebelum jantung ini berhenti berdetak. Aku tau dokter belum dapat donor jantung untukku, jadi biarkan aku melakukan apapun yang bisa membuatku bahagia. Aku cuma ingin bahagia, Bu. Menulis dan mengajak orang untuk terus menulis bisa membuatku bahagia dan bersemangat. Dengan begitu aku merasa bermanfaat walaupun usiaku nggak lama lagi. Aku harap Ibu mengerti posisiku.” Aku kembali membalikkan badan dan masuk ke dalam kamar. Sebenarnya aku merasa bersalah bersikap keras kepada Ibu tetapi hanya itu yang bisa dilakukan agar Ibu bisa mengerti. Aku sudah lelah hidup dengan terlalu banyak aturan. Hidup tanpa melakukan hal yang menyenangkan, rasanya membosankan. “Ayah, aku akan buktikan kalau aku bisa menulis seperti Ayah. Meskipun bukan sebagai jurnalis tapi aku bisa membuat cerita seperti Ayah.” Aku memandangi foto Ayah yang tergantung di dinding dekat lemari.  

-------------
Hai, guys! Ini part kelimanya. Meskipun pendek tapi buat baper. Kali ini pov Maudi. Kasihan tapi mau gimana lagi. Selamat membaca ;)

Salam,

Author

Coffee Break TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang