Susu di gelas masih ada setengah lebih, sisa sarapan tadi. Hari ini aku merasa tak semangat. Semalam tidurku tak tenang, mungkin tidak biasa atau belum biasa. Malam tadi aku tidak tidur di rumah. Aku dan Ibu menginap di rumah Bunda Ane. Meskipun ada perasaan tidak enak, kami tetap memenuhi ajakan itu. Bagaimanapun juga aku dan Ibu masih tahu terima kasih. Entahlah, kami masih merasa hutang budi kepada keluarga itu.
Ibu sangat menikmati bermalam di sini. Sedari malam, kulihat Ibu tertawa lepas sekali, tidak biasanya selepas Ayah meninggal. Sedangkan aku di balkon kamar Angga dengan Bang Agra. Banyak yang kami bicarakan, dari soal sastra sampai mengulang kembali kenangan bersama Angga. Tiap kali mendengar nama Angga disebut, kerinduanku terhadap lelaki itu tak terbendung. Aku kerap menangis jika mengingat lelaki itu. Namun semalam, Bang Agra mampu menenangkanku. Dia membelai kepalaku, percis seperti Angga lakukan ketika terakhir kali kita bertemu di rumah sakit.
"Maudi!" panggil Bang Agra sedikit berbisik depan wajahku yang tertunduk. Ibu dan Bunda Ane masih asik ngobrol di taman belakang. Sedangkan Dokter Agam tidak pulang semalam.
"Iya, Bang?" jawabku seraya mengangkat wajah dan menatap matanya lekat. Mata itu, aku seperti melihat mata Angga saat menatapku dari dekat. Ya Tuhan, aku bisa gila kalau terus seperti ini. Teriakku dalam batin.
"Kenapa melamun?" tanyanya lagi seraya tangannya terus membelai rambutku.
Sikap ini membuatku merasa tidak nyaman. Aku tidak ingin beralih perasaan kepada kakak dari lelaki yang kucintai.
"Kamu kenapa?" Keningnya berkerut ketika menyadari aku menarik kepalaku dari tangannya.
"Aku mohon bersikap seperti biasa aja, Bang. Aku kurang nyaman diperlakukan seperti itu," jawabku menunduk. Lelaki itu tertawa lirih. Kini aku yang berkerut kening. "Kenapa?"
"Maudi, kamu kira aku akan menggantikan posisi Angga di hati kamu? Ya, mana mungkin. I consider you as my lil sister, Maudi. Aku bersikap demikian karena menganggap kamu seperti Angga," jelasnya, "perbedaannya hanya di jenis kelaminnya aja," lanjutnya.
Aku terdiam mendengar ucapan itu. Bang Agra benar, I'm just his lil sister, that's it. Selama ini aku terlalu berpikir berlebihan. Aku ikut tertawa, mentertawai diriku sendiri.
"Hari ini aku mau ke kafe, mau ikut?"
Aku berhenti tertawa saat mendengar pertanyaan itu. Kafe, seketika teringat seseorang yang sudah dua hari tidak bertemu dengannya. Aku hampir melupakan lelaki itu. "Kafe mana, Bang?" tanyaku memastikan bahwa kafe yang dimaksud Bang Agra adalah kafe perpustakaan.
"Kafe perpustakaan yang dekat kampus. Di sana kopinya enak."
"Bang Agra suka kopi juga?" Pembicaraan kami sudah mulai ringan dan tidak lagi merasa canggung.
"Ya, semenjak seseorang memperkenalkannya ke aku." Bang Agra menyunggingkan senyuman. Lagi-lagi melihat senyuman Bang Agra seperti melihat senyuman Angga.
Aku tak jawab apapun. Susu digelas yang tinggal sedikit, kutegukkan sampai habis lantas ke kamar mengambil tas kecil dan ponsel, begitupun Bang Agra pergi ke kamar mengambil kunci mobil dan ponsel.
"Bunda, Agra mau ke kafe teman dulu, ya," ucap Bang Agra pamit ke Bunda Ane, "Tante, Agra bawa Maudi, ya," lanjutnya pamit ke Ibu.
Ibu mengangguk dan melontarkan senyum. "Jaga Maudi, ya! Kalau ada apa-apa kabari Tante!" Aku curiga dengan senyuman Ibu.
***
"Kita mau ke kafe mana, Bang?" tanyaku memulai pembicaraan di dalam mobil Bang Agra. Ini pertama kalinya aku jalan berdua dengan Bang Agra. Entah kenapa, aku merasa Angga mengawasiku dari setip sudut.

KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Break Time
Novela JuvenilTAMAT Kopi hitam itu pahit. Jika ditambahkan gula, dia tetap hitam dan pahit, tidak mengubah wujudnya. Bagi yang belum merasakan, akan beranggapan semua kopi itu pahit, padahal ada sedikit manis dari gula yang ditambahkan. Kamu hanya perlu mencicipi...