22.1. REGAN PRADASHA

199 16 0
                                    

"Ke mana aja kamu, Regan?" sapa Atan sesaat aku tiba di kafe. Rasanya sudah lama sekali tidak ke kafe setelah fokus dengan skripsi. Mau bagaimana lagi? Menyelesaikan skripsi adalah kunci utama agar bisa berangkat ke Belanda demi masa depan Junior.
"Kenapa? Rindu, ya?" ejekku seraya meletakkan tas di loker.
"Apa, sih. Geli tau!" Atan menjauhiku dengan wajah jijik, "kemarin gadis itu datang ke sini. Dia cari kamu."
"Maudi?" tanyaku memastikan.
"Siapa lagi? Ada gadis lain yang suka cari kamu?" Atan mendelik ke arahku.
"Dia ke sini sama Agra?" tebakku.
"Enggak. Dia ke sini ketemu Mas Panca," jawab Atan dengan melipat kedua tangannya di depan perut.
“Oh, udah ketemu Mas Panca.” Ada perasaan lega mendengarnya. Ini pertanda novelnya diterima penerbit.
“Hey, kamu belum jawab pertanyaanku!” Atan menepuk bahuku lantas merangkul leherku seenaknya.
Aku melepaskan rangkulan itu. “Apa sih, Tan. Saya masih suka perempuan.” Aku tertawa geli melihat tingkah Atan.
“Siapa juga mau sama laki-laki suka menghilang.” Atan memukul bahuku pelan.
“Kamu suka laki-laki, Tan?” ejekku.
“Amit-amit!” Atan merinding geli.
Mungkinkah di sana akan ada teman seperti Atan? Aku kembali sendiri. Setidaknya banyak waktu untuk menulis.
“Oh ya, Regan, kemarin Maudi cari novel pertama kamu.”
“Lalu?”
“Ya, saya bilang udah kamu bawa.”
Aku mengangguk. “Biarin aja,” jawabku cuek.
“Kenapa?” Atan kembali menepuk bahuku.
“Kenapa? I’m oke,” jawabku mengumpat.
“Yakin?” Atan memasang wajah curiga.
“Yakin.”
Ketika kutengah diintrogasi oleh Atan, pintu kafe terbuka. Sosok gadis berambut panjang sepunggung masuk, diikuti Agra. “Maudi,” lirihku.
“Nah, kan, datang orangnya,” ucap Atan meledek seraya menepuk bahuku.
Gadis itu jalan mengarah ke bar lantas menarik kursi dan duduk tepat di depanku. Mata kami beradu. Sedangkan Agra duduk di sampingnya. Mataku melirik ke Agra. Lelaki itu pun tengah menatapku tajam, membuatku salah tingkah. “Ada apa ini?” tanyaku bingung.
“Tan, biasa, ya,” pinta Agra.
“Siap.” Atan segera membuat pesanan lelaki itu.
Maudi masih menatapku tajam. Kutatap balik gadis itu. Semakin lama, semakin membuat jantung ini berdegup kencang. Matanya seolah bicara.
“Regan, bisa bicara sebentar?” pinta Agra membuatku menyudahi beradu mata dengan Maudi.
“Bisa.”
“Kita bicara di sana aja!” ajaknya seraya menunjuk ke meja dekat rak buku.
Aku keluar dari bar lantas mengikuti Agra. Sedangkan Maudi masih duduk di depan bar. Aku membalikkan badan melihat gadis itu, tak ada reaksi.
“Duduk!” Agra menyilakan kududuk.
Aku mengangguk seraya menarik kursi lantas duduk di depan Agra. “Mau bicara apa? Kayaknya serius.”
“Bukan aku yang mau bicara tapi dia.” Agra menunjuk ke bar.
Ketika membalikkan badan, Maudi sudah berdiri di belakangku. Agra mengajaknya duduk di tempatnya sedangkan Agra kembali ke bar meninggalkan kami berdua. Situasi ini membuatku bingung. “Ada apa ini?” tanyaku datar.
Gadis itu hanya diam dan sesekali menunduk.
“Maudi, ada apa? Kamu mau bicara apa?” tanyaku sekali lagi.
Gadis itu mengangkat wajahnya lantas mengeluarkan lipatan kertas dari buku catatan merah. “Ini,” ucapnya seraya menyodorkan kertas itu padaku.
Aku semakin bingung. Kubuka kertas itu dan kubaca. “Kamu dapat dari mana?”
“Dari redaksi mading sekolahku dulu,” jawabnya.
“Redaksi mading? Saya nggak pernah kirim puisi ke manapun,” tiba-tiba teringat saat dapat tugas menulis puisi setahun lalu. Aku membalikkan badan dan menatap Agra dari kejauhan. Lelaki itupun tengah memantauku dan Maudi, “ini pasti kerjaan Agra,” lanjutku dengan senyuman tipis, “lalu kenapa dengan puisi ini?” tanyaku lagi.
“Puisi itu udah merubah pandanganku,” jawabnya dengan wajah masih tertunduk, seperti bukan Maudi yang kukenal.
“Merubah pandangan? Maksud kamu? Saya benar-benar nggak ngerti.”
“Kamu tau? Saat itu, aku seperti ada di dalam ruang gelap yang cuma setitik cahaya buat menerangi. Tapi semakin lama cahaya itu pudar dan hampir meninggalkanku. Tiba-tiba datang cahaya baru yang sangat terang tapi entah kenapa aku merasakan dia akan meninggalkan aku suatu saat nanti. Lalu, datang cahaya lain. Enggak seterang cahaya satunya. Ya, cahaya temaram. Percis seperti cahaya diriku. Aku merasa nggak sendiri. Pada akhirnya cahaya terang itu benar-benar meninggalkan aku. Tinggallah aku bersama cahaya temaram. Cahaya temaram itu …”
Belum selesai Maudi bicara, ponselku berbunyi. “Maaf, angkat telepon dulu,” pintaku pada Maudi untuk jeda sebentar. “Iya, Pak. Baik, saya ke sana sekarang.” Aku menutup telepon. “Maaf, ya, saya harus ke kampus. Dosen pembimbing udah telepon. Kita lanjutkan nanti,” ucapku seraya bangkit dari kursi dan meninggalkan Maudi yang masih duduk. Aku kembali ke bar mengambil tas dan pamit ke Atan dan Agra. “Sorry, duluan, ya, mau bimbingan. Kita lanjutkan nanti. Bye!” Aku keluar dari kafe lantas kembali ke kampus dengan mengendarai motor.
Sebenarnya aku penasaran lanjutan ucapan Maudi, tapi itu bisa nanti. Saat ini yang terpenting adalah skripsiku.

-------
Pendek, ya?
Sebenarnya part 22 ada 2pov. Biar enggak membingungkan, jadi saya pecah saja jadi dua. Besok bagian duanya, ya.

Terima kasih sudah membaca.

Selamat beristirahat. Besok sudah Senin lagi.
Author juga sudah ngantuk.

Salam,

Author

Coffee Break TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang