Hari ini aku janjian bertemu Regan di kampus, itupun dia mengabariku hanya lewat pesan. Jika mengingat kejadian kemarin, membuatku agak malas bertemu dengannya. Kata Bang Agra, dia novelis. Penasaran dengan karyanya. "Blagu!" lirihku di depan cermin kamar.
Usai perkuliahan jam pertama, aku dan Regan akan bertemu di taman kampus. Di pesannya, dia memintaku membawa print naskah. Setibanya aku di taman, lelaki itu tengah bersila di bawah pohon sembari menarikan jemarinya di atas laptop. Wajahnya tampak serius dengan kaca mata. Hari ini dia mengenakan jaket coklat tua, terlihat keren kurasa. Kenapa aku jadi memuji lelaki itu setelah meremhkanku kemarin. Kalau bukan menghargai usaha Bang Agra, malas juga berurusan dengannya. Aku melanjutkan langkah untuk mendekatinya. Lelaki ini benar-benar tidak peka. Aku sudah berdiri di sampingnya saja tetap menghiraukan kedatanganku. Matanya masih terpaku dengan laptop. "Ada orang, loh, di sini," ucapku seraya duduk di sampingnya.
Lelaki itu mengangkat wajahnya dan menoleh ke arahku. "Eh, udah datang."
"Hah? Dari tadi, Bang!" ucapku kesal.
"Tumben panggil saya Bang, biasanya enggak," sindirnya seraya menutup laptop.
Memang selama kenal dengannya, aku tidak pernah memanggilnya dengan panggilan Bang sebagaimana aku memanggil Bang Agra. Lagipula, memanggil namanya pun tidak. Bicara lama pun baru sekali. "Nih!" Aku menyodorkan naskah yang sudah di-print dan dijilid.
"Apa ini?" tanyanya datar melirik naskahku.
"Bukannya kita ketemu untuk bahas ini?" Kini kubalik tanya.
Regan mengambil naskahku dan mulai membukanya halaman demi halaman. Aku rasa tidak benar-benar dibaca. "Enggak bagus, ya?" tanyaku penasaran dengan sikapnya.
"Novel mainstream."
"Maksud kamu?"
"Sebagai anak sastra, seharusnya kamu bisa membuat novel lebih bagus dari ini," jelasnya seraya menutup naskahku dan diletakkan di atas tas ranselnya.
"Maksud kamu apa?"
"Kurang jelas ucapan saya tadi? Apa perlu saya menjelaskan detail, wahai anak sastra?" Tatapannya menusuk hati.
Tatapan itu menyulut kekesalanku. "Enggak perlu pakai majas ironi untuk bilang naskahku jelek. Bilang aja terus terang! Aku nggak akan marah, kok"
"Yakin? Dengan majas ironi aja, wajah kamu udah kesal. Apa lagi saya katakan terus terang?" Dia tersenyum sinis seraya memasukkan naskahku ke dalam tas ransel.
Sungguh, sikap ini sangat menyakitiku. "Kenapa dimasukkan ke tas?" tanyaku bingung.
"Bukannya mau dikasihkan ke Mas Panca?"
"Kenapa nggak mempertemukan aku dengan Mas Panca aja?"
"Kamu siapa? Andrea Hirata? Dee Lestari? Kamu itu penulis pemula, rendah hati sedikit. Mas Panca itu orang sibuk. Bukan cuma urusi satu dua naskah. Bahkan naskah kamu belum tentu buat dia tertarik." Dia terus meracau.
Dari ucapannya, ada benarnya juga. "Lalu?"
"Lalu apa?" tanya lelaki itu dengan kening dikerutkan.
"Iya, sekarang apa lagi? Kalau udah nggak ada keperluan lagi, aku pulang."
Regan lagi-lagi tersenyum sinis. "Maudi, Maudi, jadi penulis jangan jutek, apalagi sama editor."
"Untung kamu bukan editor," belaku kesal.
Dia tersenyum lagi, namun kini tidak tersenyum sinis. Senyuman itu manis. "Sekarang ikut saya!" lelaki itu menarik tanganku dan membawaku ke parkiran motor.

KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Break Time
Teen FictionTAMAT Kopi hitam itu pahit. Jika ditambahkan gula, dia tetap hitam dan pahit, tidak mengubah wujudnya. Bagi yang belum merasakan, akan beranggapan semua kopi itu pahit, padahal ada sedikit manis dari gula yang ditambahkan. Kamu hanya perlu mencicipi...