-Sadewa-
🌟🌟🌟
Sejak menjadi tentara, aku terus bersyukur karena ditugaskan di Malang. Walaupun tinggal di barak, tetap bersyukur karena banyak anggota keluargaku tinggal di Malang. Sedangkan kakak kembarku, Nakula, ditugaskan di Mataram.
Karena tinggal di Malang, otomatis aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga Papa daripada Papiku sendiri. Dan gara-gara itu pula banyak yang mengira aku adalah anak kandung Papa, yang membuat Papi suka ngambek.
Kata Papiku, "Yang punya anak siapa, yang diakui siapa."
Tapi karena Papi dan Papa kembar identik, saat dikasih tahu kebenarannya pun banyak yang tak percaya.
Dan bicara tentang kembar, kadang aku suka mengelus dada. Kenapa? Aku juga kembar. Aku dan Mas Nakula tidak identik. Mas Nakula bagai duplikat Papi, sedang aku perpaduan Papi dan Mami.
Wajahku ganteng tapi bagiku Mas Nakula lebih ganteng. Dulu hal itu tidak menggangguku. Sekarang? Jangan tanya lagi! Iri? Bukan. Hanya saja tidak tahan dengan berisiknya perempuan-perempuan itu begitu tahu aku kembar dan melihat wajah Mas Nakula lebih ganteng. Mereka memintaku mengenalkan padanya.
Oh, hellooo...mereka dimana, Mas Nakula dimana? Logika kok tidak jalan?
Padahal kalau mau kenalan sendiri juga bisa. Akun media sosialnya juga terbuka untuk umum. Kenapa harus lewat aku coba?
Jadi, sekarang aku mirip Papa dan Dek Sahil, anak bungsunya yang suka risih kalau ada perempuan histeris heboh. Tapi di sisi lain, aku jadi kasihan sama Mas Nakula yang malah jadi sedih dan merasa bersalah. Padahal aku tidak ada masalah sama dia. Tidak iri juga. Wajah kan termasuk takdir Allah. Kalau dia ganteng ya rejekinya. Aku cuma bermasalah sama perempuan-perempuan itu. Titik.
🐾🐾🐾
Hari ini sabtu malam minggu, tapi aku sibuk jadi capek rasanya. Pulang dinas kularikan motorku ke rumah papa, masih berseragam. Toh, bajuku juga banyak disana.
"Assalamu'alaikum." Ucapku setelah melepas sepatu PDLku dan masuk ke dalam rumah yang kebetulan pintunya terbuka.
"Wa'alaikumsalam." Balas Mama yang tengah santai nonton TV di ruang keluarga. "Lho, Mas?"
Aku menyalim tangan Mama lalu merebahkan diri di karpet.
"Cuci tangan sama kaki sana ah." Perintah Mama.
"Hmm."
"Mas Dewa?"
"Iya." Terpaksa aku bangun dan kuseret kakiku ke kamar mandi. Setelah cuci tangan dan kaki, aku kembali menggeletak dekat kaki Mama.
"Mas Dewa kalau mau tidur di kamar sana."
"Capek, Ma. Nanti kalau isya' bangunin aku. Aku tidur sebentar." Sungguh, untuk ngomong saja aslinya susah payah. Mataku sangat berat.
Dan entah sudah berapa lama aku tertidur, tahu-tahu Dek Rahil, kakak kembar Dek Sahil membangunkanku.
"Eng? Sudah isya'?" Tanyaku dengan suara parau.
"Aku sama Papa baru pulang dari masjid malah. Shalat dulu sana. Kita habis ini makan di luar, ikut nggak?"
"Aku pass." Aku berusaha bangun tapi mataku masih terpejam. "Eh, tapi kok kamu ada disini? Dek Mia mana?"
"Tadi dibangunin nggak bangun-bangun." Kata Dek Rahil. "Mia lagi pulang ke Surabaya. Bantuin Ibu, ada pengajian disana."
"Maaf." Aku pun menyeret kakiku, ke kamar bujang si kembar di rumah Papa. Aku mengambil baju gantiku di lemari dan kembali menyeret kakiku ke kamar mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sadewa & Rembulan [SUDAH TERBIT]
General FictionRank #01 Tentara (13/04/2019) #03 Militer (01/03/2019) #10 Abdi negara (15/09/2019) #22 Fiksi Umum (15/09/2019) #01 Kucing (19/02/2020) #39 Chicklit (22/02/2020) #28 Receh (23/02/2020) #47 Komedi (22/02/2020) Rembulan sangat suka kucing tapi hanya...