🐾 6

19.7K 1.2K 85
                                    

- Sadewa -

🌟🌟🌟

Sungguh aku sendiri tak mengerti kenapa jadi uring-uringan. Bahkan sampai dikatakan nyinyir segala...

Astaghfirullahal adhiim...

Setelah membelikan pesanan seafood bakar pesanan Mama, aku langsung ke barak. Mas Nakula sendiri balik ke Batu. Milih menginap di rumah Eyang ternyata. Dia tidak sendirian. Dek Sahil dan Dek Hilwa juga menginap di Batu. Eyang putri ingin ketemu cucu bidadari katanya. Iya, bidadari, saking cantiknya.

Esok harinya, usai shalat subuh, aku dikejutkan dengan berita bahwa ternyata Papi ada di Surabaya, ada urusan di Polda Jatim dan Mami ikut karena Abi Damai ternyata cuti dan memutuskan ke Batu bersama Ummi Khayrah dan Dek Mehreen saja.

Dan kejutan untukku masih belum selesai. Ini sesuatu yang sungguh di luar ekspektasi. Yang membuatku speechless bahkan nyaris tak bisa bergerak. Tanganku pun gemetar saat Mas Nakula mengabarkan kepergian Eyang Arman ke Rahmatullah saat aku di parkiran motor hendak pulang.

"Innalillahi wa innailaihi roji'un." Ucapku tanpa sadar dengan air mata yang sudah meleleh.

Pantas saja seharian ini aku merasa tidak tenang dan justru takut saat mendengar sebagian keluarga yang berjauhan pada berdatangan. Di saat yang bersamaan. Apakah itu pertanda?

Segera kupacu motorku menuju barak untuk mengambil beberapa keperluan. Begitu selesai dan tanpa mengganti PDLku, aku langsung pergi menuju Batu.

Sampai disana sudah banyak orang berdatangan. Alhamdulillah, walaupun Eyang warga pendatang ternyata banyak yang sayang padanya.

Usai memarkir motor di salah satu sudut garasi yang sengaja di buka demi kepentingan mobilitas jika diperlukan, aku masuk melalui pintu samping. Kusimpan dulu rak sepatu yang berada tak jauh dari pintu samping itu.

Semakin ke dalam, air mata yang kutahan sejak tadi terus merembes keluar. Kuhampiri Eyang putri, yang tengah duduk di sofa ruang tengah ditemani oleh Dek Hilwa dan kupeluk.

"Eyang seperti tidur. Tugasnya sudah selesai. Sebagai prajurit juga hamba-Nya. Sekarang Allah memanggilnya pulang." Kata Eyang Kusuma tegar walaupun air matanya berderai. "Sudah. Sekarang cuci mukanya dan wudlu. Temui Eyang kakung. Papimu sedang nyiapin keperluan mandinya Eyang." Ia menepuk bahuku beberapa kali dengan lembut lalu melepas pelukanku.

Sungguh ini terbalik. Seharusnya aku yang menghibur Eyang putri! Eyangku yang telah kehilangan sigare nyowonya. Aku yang hanya sanggup mengangguk ini pun perlahan menjauh setelah mencium kedua pipinya.

Tapi aku tidak ke kamar mandi dulu. Aku menemui Mami yang katanya ada di ruang tamu.

"Mami..." panggilku lirih.

Mami yang tengah mengaji di samping Eyang menoleh lalu meletakkan Al qur'annya dan memelukku erat. Tanpa kata Mami hanya memeluk sambil menangis pelan dan mengusap punggungku. Kubalas pelukan Mami dan mengusap punggungnya.

Setelah Mami melepas pelukannya, Mami mengusap air matanya dengan tissue lalu melanjutkan membaca Al qur'an. Aku pun mengusap air mataku hingga kering lalu membuka penutup Eyang dan mencium kedua pipi dan keningnya. Kuusap lembut pipi yang berkeriput tapi masih bugar itu. Ya, Eyang seperti sedang tidur saja. Hanya sebentar lalu aku menutup kembali wajah Eyang.

Saat ke depan untuk melihat persiapan memandikan jenazah, kulihat mobil Papa, Dek Rene dan Dek Rahil memasuki halaman dan tengah memarkir mobil.

Tampak Dek Rahil membuka pintu dengan terburu-buru, kupikir ingin segera bertemu entah Eyang kakung atau Eyang putri, ternyata ia membuka sisi mobilnya yang satu dan tampak mengambil Bianca yang sedang rewel di pangkuan Mamanya.

Sadewa & Rembulan [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang