🐾 4

23K 1.3K 215
                                    

- Sadewa -

🌟🌟🌟

Hari ini aku janjian untuk makan di luar bersama Mas Nakula, Dek Sahil dan istrinya, Dek Rahil dan istrinya juga Dek Ai dan Suaminya.

Kami sepakat siapa yang sampai lebih dulu dia yang cari tempat. Dan ternyata aku yang sampai lebih dulu.

"Papa De! Papa De!"

Terdengar panggilan yang familier. Aku menoleh benar saja. Si kecil Garin yang tengah jalan setengah loncat-loncat dalam gandengan Papanya. Sedang kakak kembarnya, Abhi, berjalan tenang dalam gandengan Mamanya.

Keduanya adalah anak dari sepupuku, Dek Ai. Usianya empat tahun. Matanya hijau persis Papanya yang blasteran Perancis itu. Kuasa Allah, karena secara logika genetika akan sulit memiliki anak bermata hijau begitu. Keduanya juga berbeda sifat walaupun identik juga beda jenis kelamin. Abhi cenderung kalem, sedang Garin cenderung aktif.

Melihatku, si cantik Garin langsung berlari dan minta duduk di pangkuanku.

"Papa De, solli we al let. Ban mobil Papa gembos, jadi halus pompa dulu." Katanya.

Aku tertawa sambil mengangguk.

"Nanti kalau Adek Bianca datang, ribut. Rebutan duduk sama Papa De." Komentar Dek Rene, suami Dek Ai.

Aku tertawa. Entah mengapa dua keponakanku itu lengket denganku. "Ada Dek Sahil, Bianca pasti lebih milih nemplok ke Papinya itu."

Dek Rene tertawa. "Iya ya..."

Tak lama mereka yang tengah dibicarakan datang bersama-sama. Dan benar saja, Bianca, gadis kecil tiga tahun anak Dek Rahil itu menempel erat di gendongan Dek Sahil, adik kembar Dek Rahil. Bahkan terlihat acuh saja saat melihatku memangku Garin.

"Itu...Bianca tahu kan kalau yang lagi gendong bukan Papanya?" Komentar Dek Rene yang selalu takjub dengan tingkah ajaib keponakannya.

Dek Rahil mengangguk. "Tahu dong. Bianca, ini siapa?" Tanyanya sambil menunjuk dirinya sendiri.

Bianca yang dipanggil menoleh. Matanya mengedip beberapa kali. "Papa."

"Namanya?" Dek Rahil mengetes anaknya sendiri.

"Papa Lai."

"Kalau yang gendong Bianca?" Tanya Rahil lagi sambil menunjuk kembarannya.

"Papi Sai." Jawab Bianca mantap.

"Bukan. Yang gendong Bianca itu Papa Lai. Yang ini Papi Sai." Godaku sambil menunjuk sepupu-sepupuku.

Entah darimana anak-anak kecil itu mendapat nama panggilan untuk Dek Rahil itu Lai dan Dek Sahil itu Sai. Mungkin karena susah memanggil Rahil dan Sahil jadinya Lai dan Sai.

Sedangkan aku dipanggil Papa De karena waktu itu Garin dan Abhi belum bisa mengucapkan Pakde seperti yang diajarkan Mama mereka, Dek Ai. Keluar dari mulut-mulut itu malah Papa De. Logika anak-anak hihihi...

"Nggak! Ini Papi Sai!" Pekik Bianca dengan gerakan memukulku walaupun yang dipukul udara kosong sih.

"Sayang, nggak boleh mukul gitu." Tegur Dek Mia, Mamanya Bianca.

"Papa De nakal." Bianca cemberut.

Aku tertawa dan kami pun segera memesan makanan.

"Kalau yang ini siapa, Bi?" Tanya Mas Nakula menunjuk dirinya sendiri setelah pelayan pergi.

"Dena." Jawab Bianca cepat.

Ini juga hasil kreatifitas anak-anak itu. Mungkin bagi mereka tidak ada dua Papa De, dan yang terpikir adalah Pakde Nakula jadinya Dena.

Sadewa & Rembulan [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang