🐾 19

16.2K 1.2K 223
                                    

- Rembulan -

🌙🌙🌙

Aku diberitahu Bunda kalau Sadewa dan keluarganya datang untuk pamit padaku saat aku tidur kemarin.

Mungkin hari ini juga tidak akan datang. Kan dia sakit juga tak ada kewajiban untuk menemuiku.

Akhirnya bangsal benar-benar sepi. Jiwa korsa entah apa itu namanya dari rekan-rekan sesama tentara Sadewa membuat kamarnya tak pernah sepi bahkan kadang-kadang ada yang menjengukku juga untuk tanya perkembanganku.

Dan dengan kepulangan Sadewa, aku pikir juga kesempatan untuk minta pindah bangsal ke dokter. Ternyata hasilnya nihil. Masa katanya, "Maaf tidak bisa. Sudah perintah langsung dari Pak Brigjen". Haduuuh...itu Papinya Sadewa apaan coba? Aku kan bukan VIP yang butuh fasilitas kelas satu.

"Nduk...kamu sama Sadewa...ada sesuatu gitu?" Tanya Bunda tiba-tiba.

"Hah?" Aku yang setengah melamun menoleh kaget. "Maksud Bunda apa?"

"Mungkin sebelum kecelakaan, kamu sama Sadewa...yah...apa...pacaran gitu." Jelas Bunda dengan wajah menyelidik.

"Pacaran apa? Nggak ada apa-apa kok." Bantahku.

"Kok Sadewa gitu? Semakin hari semakin...yaaa seperti nunjukin kalau kalian pacaran gitu. Keluarganya juga. Eh, ngomong-ngomong...Masnya Sadewa lebih ganteng ya?"

"Bundaaa...kok gitu sih? Orang tuh yang dilihat agamanya, hatinya, bukan gantengnya."

"Assalamu'alaikum." Ucap suara laki-laki serempak. Dua orang.

"Wa'alaikumsalam." Balasku dan Bunda.

Pintu kamar kebetulan sedang dibuka sehingga tamu-tamu yang baru datang itu bisa langsung masuk.

Waaah! Mati aku! Sadewa dan Nakula dengar nggak ya obrolanku sama Bunda barusan?

"Kok kesini?" Tanyaku bodoh.

"Emang rumah sakit punya Mbahku jadi bebas dong." Sahut Sadewa tajam seperti biasanya.

"Dek!" Tegur Nakula. "Hai...sorry ya, emang mulutnya minta distaples." Canda Nakula tapi keriangannya tak mencapai matanya. Seperti kecewa. Sedang Sadewa betul-betul tampak biasa saja.

Aduuuh, jadi nggak enak nih. Bunda sih kebiasaan suka gitu kalau lihat yang bening-bening. Walaupun maksudnya hanya bercanda...tapi...Hhh!

"Baru kali ini lho Saya lihat adik saya kelakuannya begini." Kata Nakula pada Bunda sambil mendorong kursi roda Sadewa ke dekat brankarku lalu keduanya sekalian salim pada Bunda yang duduk di kursi. "Rumah sakit Mbahmu apa? Orang kok narsis amat. Eh...mirip almarhum Eyang ya jadinya."

Sadewa meringis mendengar ocehan kembarannya.

"Cuma berdua?" Tanyaku.

"Mau sama keluarga besar sambil bawa seserahan?" Sadewa balik tanya dengan wajah lempeng.

"Bisa serius nggak sih?" Protesku.

Sadewa mengangguk. "Serius kok. Tapi nggak bawa seserahan sih. Mereka nanti nyusul sekalian pamit. Yang tinggal cuma Mami, Mbak Shafa sama Mas Naku. Itu juga nggak bisa lama sih."

"Keluargamu mau balik?"

"Iya. Tugas memanggil. Nggak bisa lama tapi nanti Papi masih bolak-balik sih ngurusin kecelakaan kita."

"Mas Dewa kan juga masih sakit, baru pulang kok sudah kesini lagi? Kontrol?" Tanya Bunda.

"Tidak, Tante. Memang khusus jenguk Bulan." Jawabnya.

"Howalah...kok yo repot-repot. Mending istirahat dulu aja di rumah. Baru pulang masa keluyuran lagi?" Komentar Bunda.

Sadewa tersenyum. "Kalau di rumah malah sakit semua, Tante."

Sadewa & Rembulan [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang