🐾 8

18.6K 1.2K 60
                                    

- Sadewa -

🌟🌟🌟

Sejak Eyang meninggal, rasanya ada yang kosong. Sudah tak ada lagi yang melontarkan canda-canda aneh dan lucu. Tak ada lagi Mbah-Mbah narsis tapi bijaksana. Tak ada lagi tempat berkeluh kesah sambil bermanja. Ya walaupun aku tidak semanja kedua sepupuku yang juga kembar sih.

Dalam sebulan sejak kepergian Eyang, kuusahakan untuk sering menginap di rumah Batu. Bergantian dengan Arjuna. Ya, Arjuna. Prajurit berpangkat Sertu itu seharusnya menjadi sepupuku dengan menikahi Dek Ai tapi karena ada beberapa sebab akhirnya mereka gagal menikah. Tapi karena Papa sudah terlanjur sayang, walaupun gagal menjadi menantunya, Papa tetap menganggapnya sebagai anak. Jadilah dia semacam sepupu angkatku.

Dan hari ini aku kembali menginap di rumah Eyang.

"Kamu sama Ayu gimana, Le? Katanya pengen ngelamar. Kok Eyang belum dengar apa-apa?" Tanya Eyang Kusuma.

Saat ini kami tengah makan malam berdua saja. Tapi mau sama siapa lagi memang? Bulik Min, suami dan anaknya milih makan sendiri kalau aku datang. Oh ya, alhamdulillah sih sekarang ada suami dan anaknya Bulik Min. Mereka datang setahun lalu. Suaminya Bulik Min ini, Paklik Yadi, dulunya kerja di pabrik kecil sebagai OB, karena bangkrut jadi semua karyawan kena PHK. Terus Eyang nawari bantu-bantu di rumah sekalian ajak anak mereka yang bungsu. Anak laki-laki, namanya Drajat. Anaknya sopan, rajin, baiklah pokoknya. Sekarang dia juga kuliah atas perintah Eyang kakung, tentu Eyang yang bayar.

"Nggak jadi, Eyang. Memangnya Mami nggak ada cerita apa-apa pas kesini?" Tanyaku.

Eyang Kusuma menggeleng. "Kayaknya enggak. Lebih ke quality time sama Eyang kakung terutama."

Aku manggut-manggut.

"Tapi batal juga nggak apa-apa. Dia baik tapi menurut Eyang sih bukan yang bisa diajak susah. Jadi Ibu Persit itu harus tahan banting dalam segala kondisi dan cuaca." Jelas Eyang Kusuma.

"Gitu?" Gumamku.

"Perempuan itu jangan dilihat cantiknya, lihat juga agamanya. Karena orang perempuan milih suami juga nggak sekedar wajah ganteng. Kalau cuma punya wajah ganteng tapi karakter dan penghasilan terutama akhlaqnya nggak ada, begitu gantengnya ilang ya ilang semuanya."

Aku tidak tahu harus menanggapi bagaimana? Dimana salahku? Kenapa aku tidak bisa seperti Dek Ai? Dek Rahil? Dek Sahil? Apalagi Dek Sahil yang bahkan merasa yakin di waktu yang sangat singkat bahwa Dek Hilwa itu jodohnya? Aku bahkan tidak bisa seperti Mbak Fafa dan Mbak Shafa...Hhh!

"Le? Kok ngelamun?" Tanya Eyang Kusuma lembut.

Aku menggeleng. "Bingung. Kok aku nggak bisa seperti yang lainnya ya?"

"Yang lainnya siapa?" Kening Eyang yang sudah berkeriput semakin keriput karena mengernyit dalam.

"Dek Ai mungkin? Dek Sahil?"

"Kamu iri?"

"Nggak juga sih...cuma sedih aja."

Eyang Kusuma menghela nafas dalam. "Harusnya kamu bersyukur diperlihatkan sekarang sama Allah...coba kalau jadi melamar terus malah batal nikah?"

"Iya ya..."

"Ck! Kamu ini...kalau Eyang kakung masih ada, sudah disidang kamu! Bareng sama Mama-Papa dan Mami-Papi kamu. Siapa yang belain kamu? Nggak ada!"

Aku meringis. Mungkin ini memang teguran untukku. Astaghfirullahal adhiim...

"Eh, temannya Arjuna tuh boleh juga." Ujar Eyang Kusuma.

Aku mengernyit. "Temannya Arjuna?" Ulangku bingung. "Lah teman dia juga temanku dong."

"Bukan tentara. Itu yang cewek dua...itu lho...Bulan. Iya, Bulan."

Sadewa & Rembulan [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang