🐾 16

16K 1.2K 185
                                    

- Sadewa -

🌟🌟🌟

Biar cepat, pulangnya aku  mengambil jalur tol sama seperti saat berangkat tadi. Dan sepanjang perjalanan pulang dari bandara Juanda Bulan langsung mengeluarkan uneg-unegnya betapa tegang, sungkan, canggung dan takutnya dia bersama Mami dan Papi seharian. Sesekali diselipi omelan kesal padaku yang terkesan diam saja.

Lah aku mana tega coba ngomong yang sebetulnya ke dia kalau Mami ingin menjadikannya mantu secepatnya. Bisa pingsan berdiri kan? Tapi aku juga tidak bisa menolak permintaan Mami.

Di saat kami asyik ngobrol, tiba-tiba dari arah belakang, dengan kecepatan tinggi ada mobil yang bermaksud menyalip mobil depannya tapi gagal sehingga melanggar jalurku dan karena kejadiannya terlalu cepat, hanya dalam hitungan detik aku tak mampu menghindar sehingga tabrakan terjadi. Aku masih ingat mobil kami berputar-putar ditengah jeritan dan seruan "Allahu Akbar" dari Bulan sebelum akhirnya berhenti dan gelap.

🐾🐾🐾

Samar-samar tercium aroma obat bercampur antiseptik dan pelan-pelan rasa ngilu merambat ke sekujur tubuhku.

Aku berusaha menggerakkan mataku, rasanya perjuangan sekali dan kali ini aku menyerah.

"Mas Dewa."

Terdengar seseorang seperti memanggil di kejauhan. Lalu tak ada apa-apa lagi.

Kemudian rasanya waktu berhenti lama sekali saat akhirnya aku membuka mata dan betul-betul sadar akan keadaan di sekelilingku. Bisa kulihat Mama sesenggukan dalam pelukan Papa.

"Astaghfirullah! Bulan!" Bisikku yang kupikir jeritan. "Mama, Bulan?"

"Iya. Kami periksa dulu ya, Mas?" Tiba-tiba seorang dokter mendekatiku untuk memeriksa.

Setelah dinyatakan semua organ vitalku baik-baik saja dan berpesan ini-itu, dokter itu meninggalkanku.

"Mama, Bulan gimana?" Tanyaku lagi merasa bersalah. Jantung ini terasa mampu berhenti sewaktu-waktu.

Mama tersenyum sambil mendekatiku. Duduk di kursi lalu menggenggam tanganku. "Bulan..."

Aku benci melihat senyuman Mama yang seperti mengatakan semua baik-baik saja padahal tidak. "Ma? Bilang aja, please...Bulan gimana? Dia..."

Mama masih tersenyum. "Bulan selamat, Nak."

Alhamdulillah.

Saking leganya aku merasa gemetar seluruh tubuh dan jantungku berdetak cepat sekali lalu...gelap.

Saat kubuka mata lagi, kulihat Mama menangis. "Mama? Papa?"

"Ya Allah, Mas...jangan buat Mama takut. Mas Dewa pingsan lagi."

"Bulan kondisinya gimana?" Kejarku.

"Kedua kakinya patah karena terjepit." Kata Papa dengan nada seorang komandan yang seperti ingin membuatku bisa menerima kenyataan dengan segala logika prajurit bukan perasaan. Agar aku kuat atas kenyataan yang sebenarnya.

Deg! Deg! Deg!

"Dia...dia...lumpuh?" Sudah. Sudah kukatakan ketakutanku. Kembali kurasakan tubuhku bergetar hebat.

"Mas Dewa tenang ya, Nak? Dengar Mama..." Hibur Mama. "Bulan hanya patah kaki. Dan trauma di kepala tapi nggak parah. Selebihnya baik-baik saja. Ya lecet-lecet tentu."

"Sekarang Mas Dewa fokus ke diri sendiri dulu. Bulan sudah ada yang menjaga. Orang tuanya datang bersama kami." Kata Papa.

Aku menghembuskan nafas. Kok sakit ya? "Mami sama Papi pasti sudah sampai Semarang ya?"

Sadewa & Rembulan [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang