0.9 || Batal

3.1K 275 14
                                    

"Maksudnya?"

Senja benar-benar tidak mengerti. Sungguh.

Fana menurunkan kembali kakinya. "Gue sebenernya udah ngeliat lo neriakin gue paling keras pas main. Gila, itu Eltra sampe yang kayak 'godness Fana, lo sekarang dapet fans fanatik!'. Gitu anjir!"

Senja meliriknya tidak niat. "Ya terus?"

"Terus akhirnya gue liat lo pergi."

"Terus?"

"Gue udah niat nyamperin sih."

"Terus kok gak disamperin?"

"Sepupu gue ngasih minum. Ya masak ditolak. Kan gak banget gitu ya."

"Ter—" Senja menoleh dengan sempurna, "Hah? Sepupu? Cewe itu? Anak kelas bawah kita kan?"

Fana mengangguk. Ia memiringkan tubuhnya. Menatap Senja lekat. "Nja, gue bener-bener gak pernah anggap lo pesuruh. Sama sekali gak pernah."

Mata Senja mengerjap. Mendadak jantungnya berdetak lebih cepat.

Loh eh? Kok gue deg-deg an?

"I-iya terus?"

Fana mengembuskan napasnya, lalu ia membenarkan poninya itu. Adegan itu membuat jantung Senja berdegup semakin cepat.

Ih gue kenapa? Kok ini hati cepet banget ya detaknya.

Senja ikut mengembuskan napas, sambil dalam hati ia selalu bilang rileks... rileks... gitu. Senja tersenyum melihat Fana menatapnya itu.

Tapi bukan main, jantungnya masih tetap berdetak.

Eh... jelas lah, kalau enggak kan berarti udah meninggal ya?

"Gue kan orangnya gak pernah dengerin omongan orang lain. Yang ngerasain itu ya gue. Gue mah jarang dengerin Regha. Santai...," sahut Senja sambil menepuk pundak Fana.

Senja mengambil botol minum dibelakangnya itu, ia serahkan kepada Fana. "Masih mau minum gak?"

Dengan senang hati, tentunya Fana menggeleng. Ia sudah selesai bertanding sejak dua belas menit yang lalu. Ya sekarang tidak haus lagi.

Fana menyenderkan punggungnya di sofa itu. "Gue sekarang bukan haus. Tapi laper."

Senja meletakkan kembali botol minum itu. "Ya udah, kalau laper makan. Bukan curhat," jawab Senja sambil kembali membaca bukunya itu.

Fana kembali duduk tegak. Ia mengambil buku Senja lalu menutupnya. "Ya udah, ayo temenin makan," ajaknya sambil memberikan senyuman manisnya.

Senja menatapnya sinis. Tapi sungguh. Percayalah, jantung Senja kembali berjoget ria di sana. Aduh, kenapa Fana harus tersenyum sih? Nanti Senja malah jadi grogi.

"Eh apaan. Gak. Makan sana lo sendiri," sahutnya lagi mengambil bukunya itu lalu pergi meninggalkan Fana di tempatnya itu.

"Ciaaaa ternyata cewe emang gampang baperan. Gila idenya si Gara oke juga!"

— Ruang Rindu —

"Oke. Karena semua udah kumpul di sini, gue cuma mau kasih tau kalau event kita bulan depan, batal."

Senja yang posisinya sedang mencatat itu langsung mendongakkan kepala menatap Wira. "What? Kok bisa? Itu kita udah rancang hampir tiga bulan!"

"Loh ngapain bisa batal?" tanya Aria sebagai bendahara osis.

Wira yang duduk di depan itu mengembuskan napasnya. Senja tau karena ia berada di samping kirinya.

"Si duyung gak kasih izin. Katanya terlalu berat acaranya." Lalu pandangan Wira mengarah ke Regha yang duduk di sebelah Lera. "Lo juga, Reg. Gue kan udah suruh datengin si duyung, jelasin tentang program lo."

Ruang Rindu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang