3.1 || Obrolan Singkat

1.3K 123 4
                                    

I Still Love You - TheOvertunes
==========================

Fana terduduk di bangku taman yang berada tidak jauh dari markas Bima. Lelaki itu mengembuskan napasnya berulang kali sambil sesekali mengusap wajah sekaligus rambutnya dengan kasar.

"Kenapa harus ngarah ke gue?" Fana memejamkan matanya. Ia masih belum mengerti tentang kaitan pria itu dengan dirinya. "Siapa dia?"

Lagi-lagi Fana mengembuskan napasnya. Ia khawatir. Ia takut. Ia tidak bisa memikirkan bagaimana nantinya Senja. Apakah pria itu juga akan menyerang Senja? Atau apakah nanti Senja akan berakhir seperti Antonio?

Tidak-tidak. Jangan memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Semua ini pasti ada jalan keluarnya. Fana selalu memikirkan, bagaimana pria itu bisa kenal dengan Senja. Bagaimana bisa pria itu mengetahui alamat rumah Senja. Fana terlalu banyak memikirkan mengenai gadisnya.

Ia hanya takut. Takut kehilangan seseorang lagi.

"Fanaa...."

Lelaki itu membuka matanya ketika mendengar suara Senja memanggilnya. Ia mengerjapkan matanya perlahan kemudian tersenyum tipis seolah ia memang baik-baik saja. Fana tidak mau gadisnya malah ikut memikirkan Fana.

"Senja, kok diluar?"

Senja mengembuskan napas lalu duduk di sebelah Fana. "Fana, jangan khawatir." Gadis itu tersenyum tipis. "Senja bakalan baik-baik aja."

"Gue gak tau siapa dia, Nja," ucapnya sambil menundukkan kepalanya, "gue gak tau apa tujuan dia sama lo. Gue takut, Nja. Gue takut kalo misalnya dia kayak gini karena ada dendam sama gue."

"Gue takut, Nja, kalo lo yang harus jadi umpan."

Fana mengusap wajahnya. Lelaki itu benar-benar ketakutan, apapun itu, apapun hal yang berhubungan dengan Senja, akan selalu membuatnya ketakutan. Fana hanya tidak ingin jika gadisnya yang harus menjadi senjata untuk membalaskan dendam kepada Fana.

Fana menatap Senja yang sejak tadi terus menatapnya. Tangan gadis itu tergerak menarik tangan Fana lalu menggengamnya dengan erat. Ia mengusap punggung tangan Fana sambil tersenyum. Seolah mengatakan semua akan baik-baik saja.

"Fana...," panggil Senja pelan.

"Senja masih baik-baik aja. Lihat muka Senja, baik-baik aja, kan?"

Fana menggeleng. "Gue tau kapan lo bohong."

Senja menundukkan kepalanya sambil terus mengusap tangan Fana. Gadis itu merasa salah jika berbohong kepada Fana, karena lelaki itu pandai mengetahui kapan ia berbohong.

"Senja gak takut kalo Senja ada dalam bahaya. Senja cuma gak mau kalo orang yang ada di sekitar Senja yang kejebak bahaya. Mereka penting buat Senja. Termasuk Fana."

"Gue udah janji sama lo, Nja. Gue janji bakalan buat lo aman ada sama gue...." Fana menghentikan kalimatnya, ia menggenggam lebih erat tangan Senja. "Kalo gini ceritanya, gue gagal nepatin janji gue, Nja."

"Siapa yang peduli soal itu? Senja selalu ngerasa aman ada sama Fana. Senja ngerasa gak akan ada yang bisa nyakitin Senja. Karena Senja tau, Fana akan berusaha ngejaga Senja."

"Fana gak akan ngebiarin Senja kenapa-kenapa. Senja tau itu."

Fana menatap Senja. "Kenapa lo segitu percaya sama gue?"

"Karena Senja tau, Fana gak mungkin bohong. Fana orangnya jujur. Dan karena, Fana sayang sama Senja."

Fana menundukkan kepalanya. "Nja, gue minta maaf. Maaf karena gue, Papa dibawa dia. Maaf, karena gue gak tau dia selalu neror lo. Maaf soal gue yang selalu marah-marah sama lo. Dan juga maaf..."

"Maaf karena mungkin gue bukan orang yang tepat buat lo. Gue belum bisa gantiin posisi Regha di hati lo. Gue belum bisa kayak Regha, yang selalu ada buat lo. Yang selalu bisa bikin lo ketawa atau pun bikin pipi lo merah."

"Maaf... Gue belum bisa jadi pacar yang baik buat lo."

Gadis itu terdiam. Apa yang dikatakan Fana tidak sepenuhnya benar. Namun tidak juga salah. Senja memang masih terbayang sosok Regha. Tetapi Senja menyayangi Fana apa adanya.

Untuk pertama kalinya, Senja menyentuh rambut Fana dan merapikan sambilnya tersenyum nanar.

"Kenapa Fana ngomong gitu? Menurut Senja, Fana yang terbaik. Fana yang bisa buat Senja sejatuh cinta itu sama orang. Cuma Fana." Senja mengusap rambut Fana dengan pelan. "Ya ... walaupun Fana posesif, Senja tetep suka."

"Gimana pun Fana, Senja suka Fana apa adanya."

Setelah itu tidak ada jawaban dari Fana, lelaki itu masih menunduk dan tiba-tiba setetes cairan bening turun dari bola mata Fana yang langsung membasahi tangan Senja.

"Nja, gue gak bakal maafin diri gue sendiri kalo misalnya gue emang bener-bener kenal siapa yang jahat sama lo dan Papa. Gue bakal ngejauh. Gue bakal pergi. Gue bakalan hilang dari semesta lo kalo sampai hal itu memang terjadi."

Senja menggeleng. Ia mengangkat dagu Fana lalu mejepit wajah Fana dengan kedua tangannya. Gadis itu mengusap cairan bening yang ada di pipi Fana.

"Jangan. Jangan pernah hilang dari Senja. Apapun yang terjadi, Fana gak salah."

"Kalo sampe Fana hilang, Fana pergi, Senja gak akan tau apa Senja bisa baik-baik aja tanpa Fana. Senja gak yakin bisa, Fana. Tetep sama Senja apapun yang terjadi. Tetep ada di semesta Senja, sekalipun orang itu deket sama Fana."

"Senja, gue gak bisa ngelindungin lo seperti yang lo bilang. Gue gagal nemuin orang itu. Gue gagal bunuh dia kayak yang ingin gue lakuin. Gue salah, Nja, karena gak nepatin janji gue ke Papa."

Cairan bening itu kembali mengalir dari kedua bola mata Fana. Ini pertama kalinya Senja melihat Fana menangis secara langsung. Ia tidak tau, sebegitu sayangnya lelaki itu dengannya.

"Senja tau apa yang Fana pikirin. Tapi jangan pernah nyalahin diri sendiri. Sekalipun Senja juga selalu nyalahin diri Senja."

"Senja selalu ngerasa kalo harusnya Senja gak sama Fana. Fana selalu sial karena Senja, Fana selalu ada masalah sejak sama Senja. Fana harus berantem sama temen-temen Fana, Fana keluar dari tim basket, dan semuanya."

Begitu juga dengan Senja, gadis itu tidak bisa menahannya. Cairan bening itu juga ikut mengalir dari bola matanya. Ia bisa merasakan tatapan tulus Fana yang menatap matanya.

"Bukan salah Senja. Itu semua keinginan gue, Nja. Jangan nyalahirin diri sendiri, Nja."

"Tuh kan, Fana juga bilang gitu. Terus kenapa kita saling nyalahin diri sendiri?"

Fana menggeleng. "Gue cuma ngerasa kalo gue emang salah."

Senja tersenyum tipis. Gadis itu memeluk Fana dengan perlahan, lalu mengusap punggungnya untuk memberi ketenangan. Perlahan, Fana mulai bisa merasa tenang. Tidak gemetar seperti tadi.

"Jangan saling nyalahin diri sendiri, ya. Apapun yang terjadi, Senja bakalan tetep ada sama Fana."

Fana mengangguk dalam dekapan Senja.

"Apapun yang terjadi hari ini, ataupun besok..." Suara Senja perlahan mengecil. "Kita lewatin bareng-bareng. Itu yang Senja mau."

Fana lagi-lagi mengangguk lalu ia membalas pelukan Senja dengan erat. "Oke... kita lewatin bareng-bareng. Kita selamatin dan cari Papa, kita cari sama-sama siapa orang itu. Kita cari siapa yang udah jahat sama Senja bareng-bareng."

"Terus selalu ada di sisi gue ya, Nja. Lewatin ini semua bareng-bareng. Salah satu dari kita, gak ada yang boleh pergi duluan, ya? Gue juga mau itu."

Senja tersenyum tipis lalu mengangguk.

"Senja gak akan pergi. Senja bakalan ada sama Fana sampai hari terakhir."

***

To be continued.

Ruang Rindu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang