Don't cut me down, throw me out, leave me here to waste
I once was a man with dignity and grace.Alec Benjamin.
Dari awal Haeri sudah terpikirkan tentang ini.
Dampak dari keputusan yang ia ambil. Terlebih tentang ia yang membawa Jungkook, Haeri banyak khawatir tentang Jungkook. Ingin rasanya ia membawa kembali Jungkook pada Sejin.
Lingkungan, mental, dan perasaan Jungkook. Putra bungsunya masih remaja, ia takut salah dalam membesarkan. Haeri yakin Jungkook tidak sepenuhnya baik-baik saja seperti yang selalu ia tunjukkan, dan Haeri tahu ada saatnya dimana Jungkook secara terbuka menunjukkan ketidak baik-baikkannya.
Jungkook hanya memotong-motong daging yang ada di piring, walaupun satu-dua kali tanpa minat memakannya. Dan Haeri ingat ini makan malam kedua mereka, juga kali kedua melihat Jungkook seperti itu.
"Jungkook.." Haeri menyentuh tangan kiri anaknya. Sangat lembut, ia yakin tidak akan mengejutkan Jungkook. Tapi Jungkook bereaksi sebaliknya.
"Persiapan kelulusanmu sulit?"
Jungkook mencoba mengambil beberapa suap makanannya, ia sadar sudah membuat Ibunya khawatir.
"Tidak terlalu, aku tidak masalah dengan sekolah." Jawabnya, mencoba menautkan senyuman di sana.
"Jungkook tahu kan Ibu tidak pernah memaksa? Hanya perlu lakukan semampumu."
Jungkook tertawa kecil sambil ikut menggenggam tangan Ibunya, ia mengerti kekhawatiran sang Ibu. "Sungguh, Ibu! Hanya...kelasku jadi sedikit lebih padat, cukup melelahkan."
Haeri ikut tersenyum. Masih terus mencoba mempercayai setiap kata dan senyuman Jungkook, walau jauh di dalam hatinya menangkap banyak kejanggalan di sana. Mungkin Jungkook memang lelah.
"Jumat kemarin padahal Ibu menjemput, tapi Jungkook sudah tidak ada di sekolah."
"Jumat?" Jungkook mencoba mengingat, dan malah berakhir ingat tentang pertemuannya dengan Seokjin. "Oh, i-itu, kelasku selesai lebih cepat! Jadi a-aku naik bus dan mampir di perpustakaan kota."
"Wah, Jungkook ke perpustakaan? Tidak biasanya."
Jungkook sedikit memajukan bibir, merasa terhina. "Aku juga mau punya nilai bagus, Bu. Dan dapat sekolah yang lebih bagus nanti,"
Haeri mungkin bimbang dengan senyuman Jungkook, masih bisa menaruh kepercayaan. Tapi tatapan itu, Haeri tidak pernah ragu walau berkali-kali menepis.
Tatapan yang membuatnya yakin,
"Apa di sekolahku berikutnya, aku akan mulai menggunakan Jeon?"
Dari awal semuanya tidak pernah baik.
.
.
.
.
.
"Jungkook masih sering menemuimu?"
Seokjin tahu, semua didasari dari kecemburuan Ayahnya. Melihat Istrinya bersama pria lain, terlebih bahagia dengan pria lain. Seokjinpun juga marah, tidak terima.
"Ya, begitu."
Mungkin hampir setiap malam selalu begini. Di ruang keluarga menonton TV, walau Seokjin lebih senang berseluncur pada ponselnya.
Tidak ada yang berubah, Ayahnya masih sama. Kecuali tentang topik ini, Seokjin agak bingung harus seperti apa dalam menanggapi. Sedih, marah, kecewa. Seokjin bisa melihat itu dari mata Ayahnya, jadi ia cukup segan untuk bicara tentang itu.
"Sudah memutuskan tentang Universitas?"
Akhirnya Seokjin meletakkan ponsel, sejenak menengok pada Ayahnya sebelum akhirnya ikut menonton TV.
"Hm, ada beberapa. Belum terlalu yakin,"
"Ternyata kau suka hukum, dikira akan membantu bisnis Ayah."
Seokjin mendengar sedikit nada kecewa di sana. Maka ia hanya bisa tertawa kecil sambil menggaruk tengkuk, dan dengan ragu menatap Ayahnya. "Apa...tidak masalah?"
Sejin membalas tatapannya, dengan senyuman hangat. "Yang penting kau bahagia, Jin."
Entahlah.
TBC.
pendek hehe.
Oiya, member lain bakal muncul kok. Nanti setelah perkaranya jelas 😃
KAMU SEDANG MEMBACA
WAS
Fanfiction[JINKOOK BROTHERSHIP] Seokjin itu sumber kehidupan Jungkook. Jadi kalau dipaksa hidup tanpa Seokjin, mana bisa tetap hidup tanpa sumber kehidupan. Tapi kan Jungkook juga tidak bisa berkehendak atas segala hal yang terjadi dalam hidup. Kata seseorang...