Interlude : Who To Blamed

5.1K 639 17
                                    

          

       

       

       

        

        

        

        

        

       

       

       

Yoongi sendiri juga tidak mengerti, tapi yang jelas ia bukan seseorang yang akan menahan perasaan. Jadi kalau merasa harus mendalami seorang Jungkook, maka tidak perlu alasan untuk melakukannya.

Yang Yoongi yakin, Jungkook bisa kapan saja mengakhiri hidup. Jungkook masih remaja, mengalami hal yang orang dewasa saja belum tentu kuat, dan salahnya lagi yang ia lakukan adalah bersembunyi.

Jungkook berada di usia yang seharusnya berontak, emosi labil, dan bebas. Tapi Jungkook malah menahan semuanya.

Yoongi sudah mengganti pakaian, bersiap untuk pulang. Tapi kemudian matanya menangkap tas coklat yang ada di kursi, milik Jungkook. Sebelum pergi makan malam tadi memang Jungkook meletakkannya di sana, dan sepertinya sekarang tertinggal. Maka Yoongi membawa tas itu, memutuskan untuk mampir ke ruangan Ibu Jungkook sebelum pulang.

Tapi tidak ada Jungkook di sana, hanya ada Ibunya yang kini sudah tertidur. Jadi Yoongi mulai mengotak-atik ponsel, mencari kontak yang belum lama ia tambahkan.

Dan bodohnya kini Yoongi bisa mendengar dering ponsel, dari tas milik Jungkook.

Sial.

Itu sudah cukup alasan bagi Yoongi untuk mulai berlari sekarang, ke arah atap. Resiko dari peduli pada seorang Jungkook, khawatir tanpa akhir.

   "Jungkook!"

Tapi sekali lagi, tidak ada Jungkook.

Yoongi sama sekali tidak ingin melakukannya, tapi dia tetap memeriksa ke arah bawah. Beruntung tidak ada Jungkook.

Dan itu tidak sama sekali membuat Yoongi bernapas lega, karena sekarang ia kehabisan akal tentang harus kemana lagi mencari bocah itu. Yoongi berpikir sembari bergumam, "Atap, jembatan, sungai--" lalu mulai kembali berlari.

Kalau sampai ada Jungkook di Sungai Han dan terjadi sesuatu, maka Yoongi akan merasa menjadi makhluk paling berdosa di bumi. Ia merekomendasikan tempat itu, sudah menjadi alasan untuk menyerahkan diri pada polisi.

Jungkook di sana, dan Yoongi akhirnya bisa bernapas lega. Jungkook masih utuh, syukurlah. Ia hanya duduk terdiam memperhatikan air sungai yang tenang, tidak menyadari langkah Yoongi yang kian mendekat.

Sampai kini Yoongi sudah berdiri tepat di sampingnya, Jungkook menaikkan pandangan untuk mengetahui pemilik kaki itu. Dan melihat bagaimana wajah Jungkook, Yoongi yakin bocah itu sudah menangis dengan cukup.

Dengan kesal Yoongi melempar tas yang sebelumnya ia gunakan pada si pemilik, "Aku mencarimu kemana-mana!"

Jungkook hanya memperhatikan Yoongi yang kini mulai ikut duduk di sebelahnya, merasakan pertempuran perasaan yang masih belum stabil.

   "Hanya untuk mengembalikan tasku?" sahut Jungkook akhirnya.

   "Kenapa kau pergi tanpa membawa ponsel?! Aku panik, kupikir kau--" Yoongi berhenti sejenak, mencoba menenangkan diri. "Sudahlah, yang penting kau baik-baik saja."

Jungkook memang tidak suka, tapi ia tidak akan bohong kalau ia yakin Yoongi lumayan tahu banyak tentangnya. Jungkook tidak pernah ingin atau bahkan meminta siapapun untuk datang, tidak lagi. Ia sudah bahagia bisa terbiasa bersama angin malam, tak mau lagi mengenal tentang kehangatan.

Manusia itu semu, bukan sesuatu yang bisa dijadikan tempat untuk bergantung. "Tidak perlu khawatir, aku masih belum berani."

   "Kuharap kau jadi pengecut selamanya,"

Jungkook hanya tersenyum, walau memang ia tidak pernah mengerti modus dari seorang Min Yoongi. Dan Jungkook tahu yang perlu ia lakukan adalah tidak peduli, nanti bisa jatuh lagi.

Selagi Ibunya masih bertahan, Jungkook masih punya alasan untuk jadi pengecut. Ia akan bertahan bersama sang Ibu.

   "Memang apa untungnya?" Jungkook masih enggan untuk menatap mata Yoongi, "Hyung dapat apa kalau membuang waktu padaku?"

Yoongi tahu memang akan sulit, akan sangat sulit untuk membuat Jungkook kembali percaya pada sisi lembut dari sebuah kehidupan. Dan Yoongi memang tidak pernah tahu apa yang membuat Jungkook seperti ini, "Bukan buang waktu, tapi peduli."

Sesulit apapun, Yoongi tidak akan menyerah sebelum mencoba. "Peduli dan bisa melakukan sesuatu atas itu, keuntungannya tidak akan bisa terhitung. Kebahagiaan, Jungkook."

Tapi Yoongi bukan seseorang yang bisa Jungkook abaikan. Walau tidak peduli, nyatanya diam-diam hati Jungkook merasakan kehangatan. Lisannya akan mengatakan tidak suka, tapi hati itu jelas terus-terusan menerima.

Jungkook tertawa ringan, "Apa karena kau Psikiater? Puitis sekali," menyempatkan untuk menatap Yoongi sekilas, mendapati tatapan yang akan Jungkook anggap sebagai bentuk prihatin.

Jungkook akan terus bertahan seperti itu, tak mau lagi percaya tentang ketulusan.

      

       

        

      

       

       

        

        

       

       

       

     

TBC.

       

       

       


WASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang