Trivia : Begin

4.9K 646 9
                                    

     

      

     

      

      

     

     

     

      

     

     

     

     

      

       

Jungkook suka berpikir kira-kira bagaimana kehidupannya saat ini kalau kejadian 2 tahun lalu tidak pernah terjadi.

Dulu padahal dia selalu bertekad untuk selalu bersama kakaknya, sekalipun kakaknya itu menikah nanti. Jungkook pasti sukses tertawa kalau sudah mulai memikirkan yang lalu-lalu.

Bagaimana Seokjin sering diam-diam mengajaknya untuk mencoba setiap restoran baru, karena Ibunya sangat tegas soal makanan. Bagaimana Seokjin selalu dipuji kalau sudah soal nilai, sedangkan Jungkook selalu mendapat cerewetan orangtuanya. Dan Jungkook selalu melihat Seokjin yang diam-diam mentertawainya, walau memang akhirnya membela.

Biarlah Jungkook mengingat hanya sampai bagian itu, hanya itu. Sekedar menjadi bahan untuk menghibur diri.

Hari ini Haeri dilarikan ke ruang operasi. Tepat di depan mata Jungkook, melihat Ibunya kejang lalu tak sadarkan diri. Rasanya seluruh tubuh Jungkook bergetar, ia bisa merasakan dengan jelas detak jantungnya yang jauh dari kata beraturan, mulutnya tak henti merapalkan kata Ibu, dengan air mata yang juga terus mengalir.

Bahkan setelah 2 jam, Jungkook menunggu di depan ruang operasi. Ia menggigiti kuku-kuku jarinya, dan kaki yang tidak bisa berhenti bergerak. Jungkook bahkan tak mencoba menenangkan diri, semuanya justru terasa makin sesak.

Saat mendengar pintu itu terbuka, spontan Jungkook berdiri. Joohyuk keluar dari sana, langsung mendapati Jungkook yang menatapnya penuh harap. Tak lama sampai Joohyuk memilih untuk menundukkan kepala, merasa tidak sanggup menatap mata itu.

Mendapatkan respon semacam itu, Jungkook justru mengukir senyuman kecil. Bersamaan dengan matanya yang kembali kehilangan fokus, Jungkook bisa merasakan Joohyuk yang saat ini memeluknya erat.

   "Maafkan aku, Jungkook. Aku sungguh-sungguh minta maaf,"

Jungkook terdiam. Masih lagi-lagi mencoba untuk menepis segala pikirannya, walau dirinya sendiri tahu kalau semuanya kenyataan. Ia sadar kalau sekarang sudah saatnya untuk berhenti. Maka tanpa ragu Jungkook membiarkan isakkannya bergema di sana, sambil tangannya mulai perlahan membalas pelukan Joohyuk.

   "Kau harus kuat, kumohon kau tetap kuat."

Ibunya pergi, benar-benar pergi.

Jungkook bahkan sesekali tertawa kecil di sela tangisnya, merasa betapa tidak masuk akal situasi saat ini. Mana bisa Ibunya pergi, Jungkook bahkan belum melakukan apapun. Jungkook belum sempat memberi kebahagiaan, membuat Ibunya bangga, atau sekedar menunjukkan bahwa dirinya bisa diandalkan.

Kepala Jungkook mulai sakit, tapi justru tangisnya malah makin keras. Joohyuk masih terus berusaha menenangkan, walau memang tidak sedikitpun dari usahanya itu ada yang berhasil. Mungkin memang cukup dengan membiarkan Jungkook tenang dengan sendirinya.

.

.

.

.

.

Mungkin sekitar jam 3 pagi, Yoongi masih di rumah sakit. Berjalan di lorong rumah sakit menuju ruangannya, setelah tadi memutuskan untuk membuat kopi.

Dan saat masuk, Yoongi bisa melihat Jungkook yang kini sudah duduk di atas ranjangnya, sambil meringis pelan memegangi kepala. "Oh? Sudah bangun? Kukira akan bangun nanti pagi."

Jungkook pingsan, setelah terlalu lelah menangis semalaman. "Memangnya ini jam berapa?"

   "Ini juga sudah pagi, sih. Jam 3," Yoongi meletakkan kopinya di meja kerja, lalu mendekat ke arah Jungkook sambil memberikan segelas air yang memang sebelumnya ada di nakas. "Lanjut saja istirahatnya."

   "Hyung tidak pulang?" Yoongi terdiam cukup lama, dan bukannya menjawab ia malah menyeruput kopinya. "Apa karena aku?" tanya Jungkook lagi.

Ya iyalah, bodoh. "Ey, percaya dirimu itu perlu dikurangkan. Tadi itu sudah terlalu malam, dan aku masih harus membuat laporan." Daripada bingung, Yoongi memilih mengotak-atik komputernya.

Jungkook pastinya berharap kalau semua hanya mimpi, tapi ia sudah lelah kalau harus terus-terusan mengelak. Ia tahu jelas kalau semuanya nyata, walau memang tidak mungkin ia terima. Jungkook menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya cukup kasar, berusaha untuk tidak kembali menangis.

   "Aku mengerti, kau tahu aku lumayan paham tentangmu. Tapi kuharap kau tetap baik-baik saja, Jungkook."

Jungkook hanya diam, mencoba mendalami mata itu. Ia selalu mencari hal yang ia harapkan dari mata itu, tapi jujur ia tidak pernah menemukannya. Jungkook masih terus menepis kenyataan bahwa Yoongi memberi ketulusan.

   "Sebenarnya....apa arti dari tatapanmu, hyung?" dengan tatapan kosongnya Jungkook bertanya, membuat Yoongi cukup bingung tak mengerti harus menjawab apa.

   "Iba, kasihan, prihatin. Karena aku menangkapnya seperti itu," lanjut Jungkook dengan tawa kecil di akhir.

Lemah tapi sok kuat, butuh perhatian tapi sok tidak peduli. Menurut Yoongi ya Jungkook seperti itu, masih saja terus-terusan membohongi dirinya sendiri. Yoongi tersenyum kecil menanggapi pernyataan Jungkook, "Itu yang kau harapkan."

   "Kau berharap seperti itu tatapanku padamu. Coba saja jujur, aku yakin kau tahu walau hanya sedikit aku tidak pernah menatapmu seperti itu." lanjut Yoongi.

Jungkook tertegun, yah Yoongi bisa jadi Psikiater bukan tanpa alasan. Jungkook sudah tidak perlu heran. Mendengar setiap perkataan Yoongi pasti selalu membuat Jungkook menyadari perasaan sebenarnya, tapi kan Jungkook selalu mengelak.

   "Kau boleh terus membohongiku, tapi coba untuk tidak melakukannya pada dirimu sendiri."

       

       

       

       

       

      

      

      

      

       

TBC.

      

     

        


WASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang