Don't need this like I used to
Cause I feel blinded, blinded by you.Emmit Fenn.
Jungkook mungkin tidak terlalu pintar jika dibandingkan dengan Seokjin.
Kalau peringkat Seokjin tidak pernah turun dari angka 1, maka Jungkook selalu punya angka selanjutnya setelah 1.
Menurut Jungkook kakaknya itu memang terlahir pintar. Seokjin bahkan terlihat santai dengan pelajaran, tapi masih bisa dapat urutan teratas. Sedangkan Jungkook, walau belajar mati-matianpun ia tidak yakin bisa menghapus angka di belakang 1.
Haeri tidak pernah mempermasalahkan itu, begitu juga Sejin.
Jadi jelas Haeri sedikit terkejut saat memasuki kamar putranya, melihat Jungkook yang kelewat serius di meja belajar.
Bahkan sepertinya tidak menyadari kehadirannya, "Sulit sekali?"
Jungkook terkejut. Melihat Ibunya yang sudah duduk di ujung tempat tidur sambil memperhatikannya.
"Hehe, lumayan." Tepat setelah Haeri meletakkan coklat panas di sebelahnya, Jungkook segera meminumnya perlahan.
"Sudah hampir jam 10," Ucap Haeri.
"Sebentar lagi, aku hanya perlu mengerti sedikit tentang ini." Jawab Jungkook tanpa memalingkan fokusnya pada buku besar dihadapannya.
Haeri kembali berdiri, mengambil langkah mendekati Jungkook. "Jam 10 sudah harus tidur ya?"
Sedangkan Jungkook hanya terdiam sebentar, tidak begitu yakin apa akan selesai jam 10. jadi ia hanya menatap Ibunya dengan senyuman lebar, tanpa jawaban.
"Bilang iya, Jungkook." Haeri mengacak surai anaknya.
"Ah Ibu, seperti anak-anak saja!" Protes Jungkook tak terima.
"Kalau mengantuk di kelas nanti juga Jungkook akan makin tidak mengerti,"
Maka berakhirlah Jungkook.
Mana bisa ia melawan Ibunya. Jadi ia hanya memperhatikan Ibunya yang kini menutup semua buku dan merapihkan meja belajarnya.
.
.
.
.
.
Kalau memang Seokjin memilih berhenti dari kegiatan hariannya menemui Jungkook, maka biarkan Jungkook yang mulai sekarang mendatangi kakaknya. Jungkook masih tidak begitu mengerti, jadi harus mencari tahu 'kan?
"Ayolah, hyung! Besok kan libur, jalan-jalan hari ini denganku sebentar tidak akan jadi masalah."
Jungkook sudah bertekad hari ini. Sudah cukup mengiyakan setiap penolakkan Seokjin yang lalu-lalu. Hari ini ia harus berhasil mengajak kencan kakaknya.
Tepat setelah mereka sampai di depan mobil Seokjin, Seokjin berbalik. Menghadap Jungkook yang sedaritadi mengikuti langkahnya.
"Tidak bisa, Jungkook."
Jangan tanya, bahkan Jungkook tidak ingat sudah yang keberapa kalimat itu ia dengar.
Jungkook memutar bola matanya, "Alasan apa kali ini?"
Tapi Seokjin hanya diam, ia juga lelah berkali-kali menjawab pertanyaan Jungkook. Maka ia hanya membalas tatapan adiknya sambil menghembuskan napas kasar.
"Hyung ingat?" Jungkook terlalu antusias untuk dapat spontanitas menggenggam tangan Seokjin, "Restoran yang beberapa bulan lalu kita bicarakan? Sekarang sudah buka! Bukankah hyung bilang akan mengajakku kesana kalau sudah buka?"
"Tidak, Jung--" Seokjin risih, tidak bisa mengontrol Jungkook yang terus-terusan menggerakkan tangannya.
"Ya, hyung? Ya, ya?"
"JUNGKOOK!" Dan akhirnya dengan sekali hentakkan, Seokjin berhasil menyingkirkan tangan adiknya.
Jungkook mengambil beberapa langkah ke belakang, sedikit menjauh dari Seokjin. Kelewat tidak percaya dengan apa yang baru saja ia terima.
Kalau dipikir, semuanya memang sudah keterlaluan bagi Jungkook.
Tatapan tajam, nada dingin, hembusan jengah, dan tingkah risih. 14 tahun hidupnya, ia tidak pernah mendapatkan itu dari Seokjin. Jungkook sadar, tapi hatinya menolak peduli. Ia percaya pada kakaknya, ia percaya rasa sayang tidak akan semudah itu menghilang.
"Apa yang salah, hyung?" Dan Jungkook tidak akan bisa untuk menahan air matanya. "Kupikir hyung memang hanya butuh waktu, tapi kalau begini-- aku ada salah apa?"
Seokjin mengusap wajahnya kasar, merasa jengah. Harusnya Jungkook mengerti, Seokjin pikir setidaknya Jungkook mengerti walau sedikit.
"Aku yakin kau tidak sebodoh itu untuk mengerti, Jungkook. Semuanya sudah tidak sama! Hentikan saja," Ia menatap Jungkook tegas, melihat dengan jelas tiap tetes air mata yang terjatuh karenanya.
Dan Seokjin tidak akan menyangkal, kalau tatapan adiknya tak kalah tajam. "Apa? Perceraian Ayah dan Ibu? Lalu kenapa?! Apa itu membuatku bukan adikmu lagi? Sebelumnya hyung tidak--"
"Cukup, Jungkook."
Jungkook menundukkan kepala, merasa tidak tahan berlama-lama menatap Seokjin. Sejauh ini ia masih berusaha, berusaha mencari ketulusan yang selalu ia lihat dari mata itu. Dan sekarang ia sadar kalau semuanya benar-benar menghilang.
"Semuanya sudah jelas, kau dengan hidupmu dan aku dengan hidupku. Begitu lebih baik,"
Iya, orang tua mereka berpisah. Benar, Seokjin dan Jungkook juga ikut terpisah. Tapi apa berarti Jungkook juga kehilangan hati kakaknya?
Ada satu hal yang selama ini Jungkook yakini. Kalau ada sesuatu yang memang tidak akan pernah hilang, maka itu kasih sayang Seokjin. Jungkook masih terus meyakinkan dirinya, setidaknya sampai saat ini.
"Apanya lebih baik?! Mau melihatku hancur?" Sebisa mungkin, Jungkook masih berusaha untuk meraih tangan kakaknya.
Tidak kasar, tapi dengan yakin Seokjin kembali melepaskannya. "Aku tahu kau bahagia, begitu juga aku. Kita sudah tidak perlu saling bergantung lagi,"
"Hyung!"
Jungkook masih terus mencoba menahan kakaknya, walau berkali-kali dengan kuat Seokjin mendorongnya. Hingga akhirnya Seokjin berhasil masuk ke dalam mobil, dan tanpa ragu melajukannya.
Lagi, meninggalkan Jungkook dengan hati yang berkecamuk.
Apa seperti ini? Seperti ini yang kakaknya mau?
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
WAS
Fanfiction[JINKOOK BROTHERSHIP] Seokjin itu sumber kehidupan Jungkook. Jadi kalau dipaksa hidup tanpa Seokjin, mana bisa tetap hidup tanpa sumber kehidupan. Tapi kan Jungkook juga tidak bisa berkehendak atas segala hal yang terjadi dalam hidup. Kata seseorang...