"maksudnya?" Dira penasaran dengan apa yang terjadi kepada Zilla, tentang orang-orang di sini.
Zilla menghela nafas berat,lalu berjalan menuju seperti gazebo kecil. Lebih tepatnya pos ronda meninggalkan Dira yang berhenti berjalan. Zilla nenepuk tempat kosong di sebelahnya menyuruh agar Dira segera duduk di sana.
"budaya sini sangat berbeda Dir, mereka menikahkan anaknya saat sudah baligh dengan orang yang mereka kenal, tak peduli terpaut berapa usia mereka..."
Dira kaget mengetahui fakta baru itu. Ia tak menyangka bahwa ada budaya itu di tempat tinggal Zilla.
Zilla lagi-lagi menghela nafas lalu melanjutkan ceritanya. " dulu temen-temenku banyak yang sudah menikah, ada yang hamil dengan perut besarnya tetapi tetap melanjutkan sekolah SD. Bahkan ada yang membawa bayinya pergi ke sekolah. Usia mereka sekitar 14 tahun tapi masih di kelas 6. Hanya aku yang terkecil saat itu. Hingga akhirnya aku baligh dan bapakku memutuskan untuk menikahkan ku..."
Dira benar-benar tak percaya dan menutup mulutnya. Ini sudah di zaman modern kenapa masih ada orang-orang seperti itu. Ia tak habis pikir di usianya saat itu Ia hanya bermain boneka barbie dengan teman-teman sebayanya. Lalu apa ini? Temannya mengalami masa kecil yang tak menyenangkan.
"bapak menjodohkan ku dengan juragan sawah di sini. Laki-laki yang seharusnya pantas aku sebut bapak ku. Ia sudah memiliki 3 istri saat itu. Tentu saja aku menolak dengan alasan ingin lulus sekolah terlebih dahulu. Hingga akhirnya aku lulus SD, juragan itu datang ke rumah dan meminangku. Aku tolak mentah-mentah karena cita-citaku untuk sekolah tinggi di luar desa,selain itu aku juga tau betapa beresikonya melahirkan di usia muda karena banya teman-temanku yang meninggal saat setelah melahirkan. Juragan itu marah besar merasa harga dirinya terinjak-injak lalu memecat bapak yang juga bekerja disalah satu sawah miliknya. Bapak juga marah besar, karena ia telah kehilangan pekerjaannya dan selalu menganggapku beban. Hingga aku bertemu Ustadzah Nurul seorang Ustadazah pendatang baru di sini dan dia yang menyarankan aku untuk pergi ke pesantren. Aku izin ke bapak, namun tidak di gubrisnya. Sedangkan ibuku mendukung apapun keputusanku ini." Zilla menjeda ceritanya sembari mengelap air matanya yang mengalir di pipi.
Dira mengusap bahu Zilla untuk menenangkannya. Jujur ia tak tega melihat Zilla kembali mengingat kenangan pahit di hidupnya dulu."udah gausah di lanjutin". Zilla menggeleng dan menenengkan dirinya sendiri.
"Hubunganku dan bapak tidak ada perkembangan. Pernah aku pulang sedangakan bapak sedang bekerja,setelah di pecat bapak bekerja serabutan untuk mengidupi ibu dan adik-adikku saat itu, sampai aku tahu ternyata bapak mulai sakit-sakitan, hingga pulang kerja lalu bapak marah-marah dan mengusirku. Saat itu aku benar-benar terpukul hingga aku kembali ke pesantren. Setiap hari libur dan orang tua para santri datang aku hanya bisa menghindar. Aku benar-benar merindukan bapak dan ibu."
'oh pantes kemarin dia hanya ada di taman' sekarang Dira mengerti tentang Zilla.
"dan aku merasa bersalah atas kematian bapak, aku yang membuatnya sakit-sakitan, aku yang membuatnya kecewa bahkan saat-saat terakhirnya aku hanya bisa membuatnya menderita. Benar kata orang-orang itu kalau aku adalah pembun.."
"huss! Ga boleh gitu" Dira memotong ucapan Zilla yang mulai ngelantur. "aku tau kamu masih sedih Zil, tapi bukan seperti ini. Mana Zilla yang kemarin menasihati aku buat ga sedih? Bukannya kita tau berlama-lama dalam kesedihan itu ga baik? Kita tidak boleh menyalahkan diri kita sendiri." Dira mengusap bahu Zilla lembut. Setelah merasa Zilla tenang Dira melanjutkan ucapannya.
"semua sudah ada yang ngatur. Jodoh, rezeki, maut setiap orang sudah ada takdirnya sendiri dan mutlak tertulis di Lauhul mahfudz bukan? Aku mungkin gatau apa yang kamu rasain sekarang. Tapi percayalah jangan menangisi kepergian ayahmu terus-terusan Zil, ikhlaskan beliau. Tebus rasa bersalahmu dengan ikhlaskan beliau agar tenang di sisi terbaik Allah." Zilla mengangguk dan mengajak Dira pulang kerumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIRANA SHALSADILA
SpiritualDirana Shalsadila, remaja kota besar yang salah pergaulan yang membuatnya terjerumus ke jurang kemaksiatan. Clubbing, minuman keras adalah hal biasa baginya Hingga orangtuanya, memutuskan untuk mendaftarkan dirinya ke pondok pesantren agar membuat D...