4,0; side story

196 20 17
                                    

.

Haristia Gala hanya orang biasa yang tinggal berdua saja dengan Bunda-nya sejak lulus SD. Ayahnya? Gala tidak pernah mau membahasnya. Buat Gala, ia tidak punya ayah. Mau mengaku ayahnya sudah mati, tapi Bunda melarangnya bicara demikian.

Jadi mau bagaimana lagi?

Di sekolah, Gala termasuk memiliki kepintaran di atas rata-rata. Akademisnya baik. Ia mampu mengikuti program akselerasi di SMA hingga lulus satu tahun lebih cepat dari teman-teman seangkatannya. Lulus sekolah, Gala melanjutkan kuliah di salah satu universitas di kotanya. Jurusan Arsitektur. Kalau ditanya kenapa memilih jurusan itu, jawaban Gala sederhana, "Supaya bisa jadi arsitek rumah impian Bunda."

Menjelang tahun terakhirnya di perkuliahan, Bunda menikah lagi. Gala tidak setuju, tentu saja. Ia tidak merasa membutuhkan sosok ayah. Ia sudah dewasa dan bisa menopang dirinya sekaligus bundanya seorang diri. Lantas untuk apa ada orang lain?

Calon ayah barunya memiliki seorang anak laki-laki, usianya hanya satu tahun di atas Gala. Posturnya lebih pendek dibanding Gala. Suaranya agak cempreng, seperti belum puber. Namanya Yoga. Sama seperti Gala, Yoga juga menganggap penyatuan dua keluarga ini sebagai hal yang bodoh.

Tapi pada akhirnya, hal bodoh itu tetap terjadi.

Setelah kedua orang tuanya menikah, hubungan Gala dan Yoga tidak membaik. Gala ngotot menyelesaikan pendidikannya. Ia tetap tinggal di kota kelahirannya sementara ibunya terpaksa tinggal bersama keluarga baru mereka, di Jakarta.

Hanya beberapa bulan berselang, Bunda meninggal.

Jangan tanya betapa hancurnya Gala waktu itu. Bahkan setelah ibunya dimakamkan, Gala hanya terduduk dengan pandangan kosong, seolah tidak lagi memiliki tujuan hidup.

Ia sedang melamun di teras ketika tiba-tiba Yoga menghampirinya.

"Gue nggak suka lo, tapi gue tahu rasanya keilangan nyokap," kata Yoga waktu itu, kemudian mengulurkan sebotol air mineral. "Minum nggak bikin Bunda hidup lagi, nggak bisa menghibur perasaan lo juga. Tapi seenggaknya lo harus stay hydrated. Bunda pasti sedih kalo anak kesayangannya sampe sakit."

Hari itu adalah pertama kalinya Gala mendengar Yoga menyebut ibunya dengan sebutan Bunda juga—sama seperti dirinya.

"Good luck." ucap Yoga akhirnya, sebelum meninggalkan Gala sendirian, dengan air mineral di tangan.

Dan meski harus mengakui kalimat Yoga sebagai ucapan bela sungkawa teraneh yang pernah ia dengar,

Nyatanya, perasaan Gala sedikit membaik.

Mungkin, kakak tirinya memang bukan sepenuhnya orang yang menyebalkan.

Selepas kepergian Bunda, Gala merasa sebatang kara. Ia bukannya tidak merasa sejak awal kalau ayah tirinya memang tidak terlalu peduli padanya, hanya saja setelah ibunya meninggal, keluarga tirinya itu justru terasa semakin asing.

Gala pasti akan sangat kesepian dan merasa tidak memiliki siapa pun kalau saja—

"Gala udah makan belum?"

"Belum."

"Makan ih, nanti sakit!"

"Tanggung, ini dikit lagi bab tiga kel—"

Lalu laptop Gala tiba-tiba tertutup karena dorongan tangan seseorang.

—tidak ada gadis di hadapannya ini.

Namanya Rya. Rya Dinata Adidara Jati. Cantik, kan? Menurut Gala, nama itu cantik. Pemiliknya juga cantik. Meski Gala lebih suka memanggil nama cantik itu menjadi Inat—supaya berbeda dari yang lain. Supaya spesial.

Ah, dan iya, gadis bernama Rya Dinata ini pacar Gala. Sejak semester dua.



🆙🆙🆙



"Gue duluan ya, Gal."

Gala cuma mengangguk. Setelahnya, Jendra melompat naik ke bus yang berhenti di depan halte. Arah pulang mereka berbeda. Gala harus pulang ke rumah Yoga. Sejak kakak tirinya itu keluar dari rumah sakit jiwa, ia jadi harus tinggal mendampingi Yoga.

Perintah ayah tirinya.

Gala tidak pernah benar-benar mengerti apa yang terjadi pada Yoga. Setahun lalu, ia masih di Semarang. Berjubel dengan skripsi dan hatinya yang masih patah—setelah ditinggal Bunda. Kemudian ayahnya tiba-tiba memberi kabar, Yoga sakit. Yoga sempat dibawa ke Semarang, tinggal bersama Gala beberapa waktu, dengan alasan supaya jauh dari Jakarta, supaya lebih tenang.

Dan saat itu Gala baru memahami penyakit Yoga yang sebenarnya.

Sama sekali bukan penyakit fisik.

Lebih tepat disebut gangguan kejiwaan.

Ia tidak tahu persis apa yang salah. Tapi, ia pernah melihat sisi yang cerah dan berbinar dari sosok Yoga. Jadi Gala menyadari betul, betapa kakak tirinya itu telah berubah menjadi kosong dan hampa.

Berada di Semarang selama beberapa minggu—atau bulan, Gala sendiri tidak ingat—Yoga akhirnya kembali dipindahkan ke Jakarta, oleh ayahnya.

Belakangan, Gala baru mengetahui kalau ayahnya justru memasukan Yoga ke rumah sakit jiwa.

Hingga dua hari lalu, ayahnya kembali menghubungi Gala dan meminta Gala—yang sudah menyelesaikan pendidikannya di Semarang—untuk tinggal di Jakarta, bersama Yoga.

Gala tidak pernah menyukai Yoga, pun sebaliknya. Tapi setidaknya, melihat kondisi Yoga, mampu menimbulkan empatinya. Yoga membuat Gala merasa sama.

Keduanya hidup sendirian.

Karena meskipun Yoga masih memiliki ayah,

Gala sudah merasakan sejak lama bahwa hubungan ayah dan anak itu tidak baik. Dan bertambah parah sejak Yoga sakit.

Mungkin, ayah Yoga sengaja memasukkan anaknya ke rumah sakit jiwa hanya supaya ia tidak perlu repot-repot mengurusnya. Atau mungkin, menurut ayah Yoga, memiliki anak dengan penyakit kejiwaan adalah sebuah hal memalukan.

Gala tersenyum sendiri.

Ia melihat begitu banyak fakta menyebalkan seperti ini tentang sosok bernama ayah,

Dan beberapa orang masih menyuruhnya berhenti membenci ayah kandungnya.

Jadi, tolong beritahu Gala,

Bagaimana caranya?



🆙🆙🆙

Damaged✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang