16,7; broken chain

93 12 15
                                    

.

"Oi, baru balik, Chan?"

Chandra hanya menyunggingkan satu senyum lemah demi membalas sapaan Seta barusan. Setelahnya, lelaki itu menjatuhkan diri di kursi ruang tamu, di sebelah Seta.

"Ijun mana, Bang?" tanya Chandra basa-basi sambil memejamkan mata sejenak. Ia membuka matanya kembali dan melihat Seta tengah angkat bahu.

"Belom balik," jawabnya tanpa mengalihkan pandang dari layar laptop.

Chandra mengangguk-angguk.

"Lembur, Bang?" tanyanya lagi, melihat Seta masih berkutat dengan laptop. Kali ini, Seta menoleh padanya, dengan cengiran di wajah.

"Dikit," jawab Seta. "Ini, redaksi lagi mau bahas isu lintas negara gitu-gitu. Udah lama ga update nih gue jadi kagok." Seta berhenti sebentar, mengutak-atik sesuatu di laptopnya. "Biasanya kalo tema beginian, gue brainstorming sama Aming sih."

Satu kalimat itu membawa keduanya pada keheningan yang cukup panjang.

Seta tidak sepenuhnya menyesali apa yang baru saja ia ucapkan. Diam-diam, pemuda itu justru menunggu, memperhatikan raut wajah Chandra.

"Sounds wrong, tapi kerjaan gue juga kemaren rada kehambat karena gak ada dia," aku Chandra kemudian, menatap langit-langit. "Aming biasa jago banget kalo bantuin gue ngonsep proposal investor gede. Kemaren gaada dia, kalang kabut juga gue bingung mau nanya ke siapa."

Chandra tidak bohong. Ia dan Angga mungkin tidak terlihat sedekat Wira dan Angga. Atau Yoga dan Angga. Atau bahkan Seta dan Angga. Tapi Angga seringkali membantunya dalam banyak hal. Chandra sendiri selalu berusaha membalas setiap kebaikan Angga dengan keringanan tangan yang sama. Seperti itulah mereka sebelumnya. Selalu seperti itu.

Seperti sebuah keluarga besar.

Setelah semuanya, setelah hubungan yang terputus, Chandra memang tidak pernah benar-benar mencoba memperbaiki sesuatu. Ia diam. Berusaha mengonfrontasi Wira tiap kali temannya itu menjadi sedikit terlalu berisik tentang kebenciannya pada Angga, namun tidak juga menunjukkan sikap berkebalikan dan melakukan sesuatu seperti merangkul Angga kembali.

Singkat cerita,

Semuanya berperilaku sama.

Mengikuti arus.

Membiarkan doktrin kebencian menguat di kepala masing-masing tanpa ada upaya mencari kebenaran.

Satu-dua kali, Chandra bahkan melupakan yang sudah terjadi. Rasanya seperti semua masih baik-baik saja. Seperti Angga akan membalas pesannya kapan pun ia butuh,

Atau Angga akan mengangkat panggilan teleponnya dengan suara tenang yang biasa.

Tapi tidak.

Sedikit banyak Chandra mempelajari,

Angga sudah memblokir semua kontak anggota Big Wave dari ponselnya.

Kecuali mungkin, kontak Jendra dan Seta. Angga sepertinya masih menghargai Jendra dan Seta yang satu tahun lebih tua dari dirinya.

"This is wrong," Seta kembali bersuara, mengembalikan fokus Chandra.

Lelaki itu mengusap wajahnya, lelah. "Yeah. But we can't help." balasnya.

"Chan, lo gak penasaranㅡ"

"Gue penasaran, Bang. Tapi gimana?" suara Chandra menjadi sedikit terlalu penuh emosi ketika ia melanjutkan, "Gaada yang mau ngomongin itu lagi. Aming diem. Ijun diem. Asin stuck sama kebenciannya sendiri, nggak tertolong," Chandra mengalihkan pandang, kemanapun selain Seta. "Yoga masih kayak gitu aja. Dan Kiara," lelaki itu menunduk dalam-dalam. "Udah mati," lanjutnya pelan. "Orang mati gak bisa jelasin apa-apa."

Damaged✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang