7,0; the antagonist

141 18 16
                                    

.

Angga tersentak bangun dengan sekujur tubuh bermandikan keringat dingin. Napasnya tersengal. Dadanya naik turun dengan cepat, seolah paru-parunya sedang bekerja keras mengisap oksigen sebanyak mungkin.

Lelaki itu lalu terkulai lemas, tubuhnya merebah kembali di tempat tidurnya.

Ia ingin menangis.

Mimpinya masih tetap sama. Mengerikan. Menakutkan. Mimpi buruk yang selalu menghantuinya setiap matanya terpejam, sejak setahun lalu.

Ini sudah kesekian kali, entah yang keberapa tepatnya, ia merutuki kenyataan bahwa dirinya masih hidup.

Harusnya waktu itu gue yang mati.

Ya. Harusnya. Angga yakin jika saat itu ia yang mati, teman-temannya tentu akan lebih senang.

Teman.

Angga meringkuk di kasurnya.

Memangnya ia punya teman?

Ia sudah lupa rasanya berteman. Rasanya memiliki seseorangㅡatau beberapa orang, untuk sekadar berbagi tawa, berbagi keluh. Ia tidak ingat lagi pernah memiliki sekumpulan orang yang akan selalu ada di sisinya, membelanya, percaya padanya.

Tidak lagi.

"Sante aja woi, si Angga juga gak salah???"

Itu kalimat pembelaan Wira untuk dirinya beberapa tahun lalu, saat Angga terlibat masalah dengan sekelompok senior. Ketika itu mereka masih kuliah, di tingkat dua.

Bukannya tidak bisa membela diri sendiri. Hanya saja, Angga adalah tipe orang yang tidak suka ribut jika ia tidak merasa salah. Ia malas berurusan dengan orang-orang banyak mulut yang membuat telinganya sakit dan kepalanya pening. Ia seringkali tidak peduli pada gosip-gosip mahasiswa lain yang menjelek-jelekan dirinya. Bagi Angga, orang-orang yang mengenalnya dengan baik tidak akan percaya pada kabar angin murahan seperti itu. Sebaliknya, Wiraㅡsalah satu teman terdekat Anggaㅡjustru mudah tersulut jika mendengar kabar miring tentang teman-temannya. Wira adalah pihak yang akan menyalak marah jika orang-orang terdekatnya diganggu.

Wirawan Sinadi adalah orang pertama yang akan berdiri membela Anggara Satryaindra jika ada yang berani mencari masalah.

Tapi itu dulu.

Karena setelah semuanya,

Wira justru orang pertama yang paling membenci Angga dan memberinya tatapan jijik.

Angga tidak habis pikir.

Ia kini sendirian dan ketakutan. Setiap kali melangkah keluar dari pintu rumahnya, Angga selalu merasa kerdil. Dan semua tatapan benci itu lama-kelamaan membuat Angga tidak terima.

Kalau semua orang yang dulu membelanya, sekarang justru menganggapnya penjahat,

Kenapa ia tidak menjadi penjahat betulan saja sekalian?

Sambil menggigil, Angga tertawa kecil. Ia sudah melakukannya. Ia sedang melakukannya. Ia akan menjadi jahat. Menjadi antagonis yang benar-benar menyebalkanㅡyang angkuh, dan congkak. Memenuhi ekspektasi mantan teman-temannya.

Ia tidak akan peduli apapun lagi.

Toh, ia sudah kehilangan semuanya.

Sudah tidak ada yang tersisa.

Sudah tidak ada lagi yang bisa diambil darinya.






🆙🆙🆙





"Mas."

Angga menegakkan kepala mendengar suara itu. "Masuk aja, Bu. Nggak dikunci." balasnya.

Pintu kamarnya bergerak terbuka. Menampilkan sosok ibunya di ambang pintu. Angga berdiri menghampiri.

"Ada apa, Bu?"

"Kamu belum makan."

Sudut bibir Angga terangkat tanpa sadar. Membentuk seringaian asing yang bahkan tidak dikenali ibunya sendiri.

"Mas Indra..."

Angga mendengus tertawa, pelan. Dulu, ketika ia masih punya teman, Wira dan Juniar tidak pernah berhenti mengejek panggilannya di rumah. Mas Indra. Menurut keduanya, panggilan itu terlalu halus. Tidak mencerminkan kelakuan Angga sama sekali. Yang tentu saja membuat Angga kesal.

Memang apa yang salah dengan kelakukannya?

"Perlu gue ambilin kaca gak nih, biar ngaca?" kata Wira waktu itu, dengan wajah datarnya yang menyebalkan.

"Tai, si Aming di kampus sok jagoan bat, di rumah alus bener jadi Mas Indra," Juniar menimpali.

Chandra yang juga ada di sana hanya tertawa diam-diam.

"Sok jagoan apaansi bangsat, emangnya gue Wirawan Sinadi???" balas Angga.

"Woi, anjeng, kok gua???"

"Ribut mulu, heran. Udah, diem. Kasian nyokapnya Aming nanti shock kalo denger Mas Indra mengumpat."

Angga menoleh tidak terima ke arah Yoga yang sejak tadi hanya diam. Ia bukannya tidak tahu kebiasan sahabatnya ituㅡjarang menimpali, tapi jika sudah membuka suara, kalimatnya justru menusuk.

Persis seperti barusan.

Yoga nyengir di tempatnya, memasang wajah polos seolah tidak berdosa.

Di sudut, Wira, Juniar dan Chandra sudah terpingkal dengan suara berisik.


Angga menghembuskan napasnya keras-keras. Puing kenangan yang mendadak naik ke permukaan memang selalu menjengkelkan.

"Mas?"

"Aku belum laper."

"Kamu masih nggak mau cerita sebenernya ada masalah apa?"

Angga terdiam. Setelah kecelakaan itu, ibunya memang selalu mengkhawatirkannya. Tentu saja. Ibu pasti bisa merasakan ada yang berubah. Tentang kenapa ruang rawat inapnya selalu sepi tanpa pengunjungㅡpadahal, di semester tiga, saat Angga hanya terjangkit gejala tifus ringan dan diharuskan bed rest, delapan orang temannya secara rutin menjenguk ke rumah, hampir setiap hari. Tentang kenapa bahkan tidak ada satu orang pun dari teman-temannya yang muncul, di hari ia keluar dari rumah sakit setelah beberapa minggu dirawat. Tentang seseorang yang justru berteriak mengatainya dengan makian kasar, segera setelah ia sadar dan membuka mata di rumah sakit...

Ibunya mengenal wajah-wajah kedelapan orang itu. Ibunya tahu beberapa yang paling dekat dengan Angga, yang paling sering muncul di rumahnya. Dan mereka semua berakhir habis, tidak bersisa.

"Nggak ada yang harus diceritain, Bu." Angga tersenyum getir.

"Mas," suara Ibu terdengar lembut di telinga Angga. "Kalau ada masalah, diselesaiin. Jangan menghindar atau dibiarin berlarut. Anak Ibu bukan pengecut."

Tapi penjahat. Batin Angga.

"Iya," Angga mengalah, malas berdebat.

Ibu tersenyum. "Yaudah, nanti kalau mau makan, dipanasin dulu aja ya. Lauknya Ibu masukin kulkas."

Angga hanya mengangguk sementara tangan ibunya terangkat mengusap puncak kepalanya. Membuat lelaki itu merunduk sedikit karena tubuhnya yang memang jauh lebih tinggi dari ibunya.

"Yaudah, istirahat sana."

"Iya."

Ibu Angga sudah berbalik. Angga hampir menutup kembali pintu kamarnya ketika tiba-tiba ibunya kembali menoleh padanya.

"Oh iya, Mas," kata ibunya. "Belakangan Ibu sering kepikiran Adit. Mas masih tahu kabarnya?"

Angga mematung.

Karena hal terakhir yang bisa membuat suasana hatinya menjadi lebih buruk dari saat ini adalah mendengar nama itu.







🆙🆙🆙

Damaged✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang